Blog














1.

Amanda: “Setiap pagi adalah anugerah. Tidakkah juga kau rasakan demikian?”

“Selesai,” jeritku dalam hati seraya menutup berkas-berkas laporan dan mengaturnya di lemari arsip. Aku menyandarkan punggungku di kursi sambil mengembuskan napas panjang. Fiuuuh.... Arlojiku menunjuk pukul tujuh lebih lima belas menit. Itu artinya aku masih punya waktu setidak-tidaknya satu jam lagi.

Aku melihat ke luar kamar kerjaku. Tinggal bangku-bangku kosong dalam bilik-bilik bisu. Tidak ada orang, pegawai, atau apa pun yang bisa bergerak sendiri. Semua diam. Hanya pendingin ruangan yang masih menderu-deru.

Kuraih rokok Eropaku dan kunyalakan. Asapnya berputar-putar di atas kepalaku. Tipis, lembut, dan tidak berbayang. Kuisap sekali lagi dan bara api itu mulai merayapi sigaret langsing yang terimpit di ketiak jemariku. Kuembus perlahan dan kejadian tadi terulang lagi. Asap tipis itu mulai merangkak, berguling, lantas diam dan menggantung di udara.

Sekali lagi aku melirik arloji mungilku sekadar memastikan aku tidak akan terlalu lama menunggunya. Jarum panjang emas baru bergerak tiga titik dari tadi. Kulihat lagi berkas-berkas itu. Kuamati, kuteliti hingga aku benar-benar yakin tidak ada lagi pekerjaan yang harus kulakukan hingga minggu depan.

Kubuka tas tangan di sisiku dan mengambil sepucuk surat yang berisi permohonan cuti. “Satu minggu, terhitung mulai Senin...,” begitu bunyi surat yang telah ditandatangani sang kepala divisi. Kulipat surat itu dan kusimpan baik-baik di dalam tas tanganku.

Aku baru hendak mengancingkan tas itu ketika mataku tertumbuk pada sampul berwarna biru cerah yang terbungkus plastik tipis transparan. Dua buah inisial berbalut pita emas di muka surat itu. Yang pertama adalah inisialku dan yang satunya adalah inisialnya. Sungguh ajaib rasanya ketika untuk pertama kalinya aku memandang dan benar-benar menatap surat undangan itu. Memang aku yang mendesainnya dan meilihkan warna itu. Tapi baru kali ini aku benar-benar menatapnya. Sudah puluhan kali aku menerima undangan seperti ini. Namun, sungguh berbeda jika undangan itu berasal dariku.

Dalam hati aku bertanya-tanya, apa kata orang-orang yang menerima undangan ini. Ada 300 orang yang tercantum dalam daftar undanganku. Mereka adalah kerabat dan teman-teman dekatku. Aku tersenyum saat membayangkan Linda yang sudah pasti membongkar isi lemari pakaiannya atau bahkan memesan gaun malam di butik kenalannya untuk menghadiri resepsi pernikahan ini. Atau, Evelyn yang pasti akan menanyakan katering mana yang rencananya akan kupakai untuk pesta itu, sambil, seperti biasa, malu-malu menawarkan jasa katering miliknya. Ha-ha-ha, Evelyn, tentu saja kateringmu yang akan kupakai sayang. Lidahku sudah terbiasa dengan masakanmu, dan aku sudah kenal kamu sejak SMA.

Tapi bukan itu yang selalu membebeni pikiranku. Tentu akan lain ceritanya kalau Ibu menerima undangan ini di tangannya. Entah apa jadinya, aku sama sekali tidak bisa membayangkannya. Ia pasti akan langsung....


(Ponselku berkedap-kedip)
Aku tak mengenal nomor itu, tapi, “Halo?”
Tidak ada jawaban.
“Halo?” ucapku sekali lagi.
“Halo...halo!” suara seorang lelaki menyahut dari seberang sana. Jauh sekali rasanya.
“Ya, halo. Maaf, siapa, ya?” tanyaku tak sabar.
“Maaf, dengan Ibu Amanda?”
“Ya, saya sendiri. Dengan siapa, ya? Suara Anda kurang jelas.”
“Maaf, dengan Ibu Amanda, putri Ibu Hendro?
“Ya, betul, saya sendiri. Siapa, ya?”
“Saya Rusdi, Bu. Saya putra Pak Juwono, tetangga Ibu Hendro,” ujar suara lelaki muda itu lebih kencang.
“Ah, ya, ada apa Mas Rusdi?”
“Maaf, Bu, Ibu Hendro meninggal dunia tadi sore.”


***

No comments: