Blog

Palembang

Adalah pengalaman menyenangkan kembali ke Palembang. Alasan utama tentu nostalgia sedangkan sisanya adalah bertemu teman lama di restoran martabak HAR. Sementara teman-teman sekantor saya harus menerima pasrah soal minimnya objek wisata Kota Palembang, buat saya ada banyak tempat spesial yang bisa saya kunjungi di kota tua itu.

Saya lahir dan besar di kota itu. Saya baru meninggalkan Palembang saat SMA. Masa SMA yang penuh kenangan kata orang, tapi saya tidak merasa demikian. Teman-teman SMP yang membentuk saya, begitu pun kota itu. Meski umpatan kaget saya saat ini berlogat Sunda, tapi saya keukeuh mengaku sebagai orang Palembang. Sayangnya, seperti empat tahun lalu–saat saya kembali lagi ke kota ini–tidak satu pun pengemudi yang menjemput saya di bandara menyadari sepenuhnya hal tersebut. Dan terus terang biasanya saya menikmati betul percakapan pada 30 menit pertama itu. Dari bandara sampai hotel si pengemudi malang itu akan berusaha keras berbicara dalam bahasa Indonesia dialek Betawi.

Palembang sudah banyak berubah. Lapangan futsal ada di mana-mana. Jalan di dekat rumah saya dulu sudah diperlebar, dibubuhi trotoar, dan diperlebar lagi. Empat hotel berbintang berdiri jangkung di setiap sudut kota. Sementara empat bintang di Hotel Sandjaja, hotel terbesar yang saya kenal, kini tidak seterang dulu lagi.

Ada dua mal baru rupanya. Yang satu berdiri di atas puing-puing taman ria kota. Yang satunya lagi menggantikan pabrik pemintalan. Ada lagi lapangan bola besar dibangun di Jaka Baring, areal luas yang dulunya masih berujud rawa. Di situ Jepang dan Korea Selatan bertanding merebut posisi ketiga ajang Piala Asia, Juli silam. Sebuah hajatan internasional yang hanya bisa disuguhkan di Palembang dan Jakarta, bukan di Medan dan Surabaya. Di tengah jalan menuju bandara sebuah jembatan layang tergesa-gesa dibangun. Ah Palembang sudah tidak selengang dulu lagi.

Tapi hiruk pikuk kota tidak berubah di Megaria. Tempat bermain video game saya masih di situ. Bunyi hiasan besar di dinding masih sama, “Anak-anak berseragam sekolah dilarang masuk.” Di seberang jalan, restoran martabak HAR masih berdiri. Warnanya tidak pudar. Dan lampu-lampu di sekeliling tulisan HAR masih menyala terang. Mungkin karena selalu dirawat. Mungkin karena pengunjungnya selalu ramai. Mungkin karena si pemilik cinta betul dengan restorannya. Mungkin juga karena hal lain. Tapi suasananya jadi tidak jauh berbeda. Terasa sama. Dan dua karib yang sama seperti belasan tahun lalu sudah menunggu di situ.

No comments: