Blog

Train of Thought

Ada macam-macam kepercayaan di musik rock yang bilang begini dan begitu. Bila Anda ingin mendengar suara petikan gitar supercepat Anda harus dengar Yngwie Malmsteen. Seperti Lucky Luke, ia memetik gitar lebih cepat dari suaranya. Lalu, bila Anda tidak percaya suara lembu melenguh bisa keluar dari sepotong gitar listrik, Anda harus mencoba Steve Vai atau Joe Satriani (“lenguhan lembu” bisa diganti “desahan si dia”). Buat Anda yang tergila-gila dengan harmonisasi, Brian May atau duet Hammet-Hetfield bisa jadi referensi yang pas. Tapi bila Anda mencari band yang setiap anggotanya punya skill secanggih Lucky Luke dan bisa menghasilkan harmonisasi lenguhan lembu dari setiap instrumen yang mereka mainkan, Anda seharusnya mendengarkan Dream Theater (sekali lagi, agar lebih persuasif “harmonisasi lenguhan lembu” bisa diganti “harmonisasi desahan lembu... halah desahan si dia”).

Seperti Dewa, cikal bakal Dream Theater sudah ada sejak 20 tahun silam. Selama itu tidak kurang delapan album (tidak termasuk When Dream and Day Unite dan tujuh album live) mereka hasilkan dan menjadi inspirasi banyak orang. Seorang teman pernah berseloroh, “Kalau saja Dewa punya skill dan punya taste seperenam-belas kali mereka, mungkin Dewa sudah bisa jadi band kelas dunia, gak mungkin sebesar Metallica sih, tapi minimal 20 peringkat di bawah Tatu. Sayang Dhani terlalu sering membaca Gibran dan Philip Kotler.”


Tapi Dream Theater juga tidak pernah menjadi sebesar Metallica. Walaupun saya menolak anggapan bahwa jenis musik Metallica mudah disukai semua orang, saya pikir apa yang disajikan Dream Theater memang terbilang rumit bagi pendengar Sex Pistols atau Green Day, misalnya (mudah-mudahan barudak punk ti Saparua tidak pernah mampir di blog ini). Tapi alasan paling tepat mengapa Dream Theater tidak pernah sebesar Metallica hanyalah karena mereka tidak punya hits sepopuler Enter Sandman yang intronya lazim menjadi repertoar andalan bocah baru belajar gitar. Atau Unforgiven dan Nothing Else Matter yang bisa dinikmati teman SMA saya yang perempuan.

Kita semua masih ingat betapa dahsyatnya Scenes from a Memory yang membuat kita seakan lupa ada berapa lagu di dalamnya karena semua lagu di album itu benar-benar menjadi satu dan menjadi bagian dari satu kesatuan cerita. Dalam konser mereka untuk album itu, kita benar-benar hanya disuguhkan permainan dari satu album itu tok. Layaknya teater, album itu adalah daftar musik pengiring yang sudah disusun sesuai dengan babak-babak cerita. Sayang video konser luar biasa di New York itu terkesan tidak disunting apik secantik musik di dalamnya. Banyak sekali VT-VT tidak penting yang merusak di video Live Scenes from New York itu. Bayangkan, dalam hal peralihan gambar ataupun ketika split screen (horizontal ataupun vertikal) gaya editing ala TVRI era Kamera Ria Nusantara masih dipertahankan di video itu (video dirilis pada 2001). Belum lagi tambahan efek cinema scope yang dihias warna-warni itu. Ampyuuuuun.

Akan tetapi, itulah Dream Theater yang saya kenal. Mereka tidak memikirkan hal lain selain bermusik. Dan itu bisa dilihat jelas dari karya-karya mereka dari pertama kali berdiri hingga saat ini. Learning to Live sudah menetas menjadi Beyond This Life dan terbang seperti Honor Thy Father. Begitu juga Erotomania yang menjadi The Dance of Eternity dan menjelma jadi Stream of Conciousness. Mereka tumbuh, dewasa , tapi tidak menjadi lelah karena tua. Mereka juga terlalu rendah hati sehingga mau “turun ke dunia” hanya untuk memainkan satu album penuh Master of Puppets, walaupun kita tahu Perfect Stranger versi mereka adalah sempurna ketimbang Deep Purple atau Funeral for a Friend (Love Lies Bleeding) versi mereka adalah perayaan musikal paling akbar yang mengingatkan kita akan kematian Elton John sebagai musisi rock.

Tapi, sekali lagi tapi, semoga saja saya benar. Semoga saja setelah Octavarium, Dream Theater akan kembali. Semoga saja saya tidak gegabah seperti Imanis bahlul yang buru-buru menjatuhkan talak karena keburu kepincut Avenged Sevenfold yang muda belia hanya untuk kencan semalam. Ah Avenged, kalian benar-benar meruntuhkan iman, melelehkan hati.

No comments: