Blog

Kemewahan Kudus

Pernah suatu ketika saya bersama sejumlah teman kerja ditugaskan ke Kudus, Jawa Tengah. Kota kecil yang biasa-biasa saja tapi sudah sangat saya kenal dan akrabi sejak kecil hanya karena tulisan kecil di bungkus rokok.

Selesai bertugas kami berkeliling kota sembari mencari tempat untuk makan malam. Sampailah kami di Kawasan Simpang Tujuh yang terletak di tengah kota. Sesuai dengan namanya ada tujuh jalan yang bertemu di kawasan itu yang kemudian membentuk bundaran seluas lapangan sepak bola di tengah-tengah. Di salah satu sisinya berdiri tegak sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota itu yang tak seberapa besar dibandingkan Mal Depok tapi jauh lebih sepi. Tak jauh dari situ, di satu sudut, sebuah pusat jajanan, tempat makan yang kami cari-cari. Menu utamanya, tentu saja, soto Kudus. Sebuah jamuan Kudus, kata salah seorang teman.

Ada banyak komentar menarik malam itu. Salah satunya adalah komentar tentang orang-orang Kudus yang pasti masuk surga. Komentar tidak penting tapi menarik. Sama halnya dengan gadis Malang yang dikenal cantik-cantik tapi selalu apes. Sama-sama tidak penting. Atau perjaka dari Tulungagung yang... ah sudahlah.

Kembali ke komentar menarik di malam itu. Toh ada juga yang benar-benar menarik (suer!). Berbeda dengan pusat perbelanjaan yang sepi tadi, malam itu bundaran di tengah-tengah simpang tujuh dipenuhi warga. Sekilas terlihat biasa. Ada yang membawa anak kecil dan ada beberapa muda-mudi yang duduk berpasangan-pasangan. Tidak terlalu aneh. Tapi bila diamat-amati lagi, ada yang janggal di situ. Selain ada sejumlah orang yang datang sendirian, mereka yang datang berpasangan pun tidak berkata-kata. Mereka hanya duduk diam di situ, seperti menikmati pertunjukan jazz yang njelimet. Ada banyak pedagang minuman yang setia menemani mereka. Tapi toh tidak banyak yang jajan. Kebanyakan hanya duduk dan berdiam.

Sampai saya kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di kantor seperti biasa, kejanggalan itu tidak terjawab dan sudah terlupakan. Beberapa teman malah sempat menjadikan perilaku orang Kudus itu sebagai lelucon. Tapi malam ini, ketika saya menyimak penjelasan Bapak Danang Priatmodjo di Tempo tentang perlunya sebuah ruang publik yang gratis, yang tidak membeda-bedakan kelas, yang nyaman, yang tidak melarang sandal jepit, yang aman buat anak-anak, dan yang bisa melihat laut tanpa dihalangi hotel, kejanggalan itu terjawab. Itu wisata orang Kudus. Jauh dari kata konsumtif dan gosip. Tidak seperti ibu-ibu muda di Jakarta yang perlu Coffee Bean atau J.Co. untuk ngobrol ngalor-ngidul tentang tempat rental tas Louis Vuitton yang lagi marak. Dibandingkan dengan itu maka “surga lebih dekat dengan orang Kudus” bisa jadi bukan lelucon.


Btw ada enggak yang pernah kepikiran merasa punya hak untuk membawa bacaan dan segelas kopi dari rumah untuk nongkrong di alun-alun kota yang rindang tapi tetap merasa aman? Mudah-mudahan orang-orang Kudus masih bisa menikmati kemewahan itu.

No comments: