Blog

GF III

Tentu tidak semua cerita harus dibuat cantik nan megah seperti Godfather Bagian Pertama dan Kedua karena tidak semua sutradara punya talenta dan misi yang sama layaknya Coppola muda.

“Never let anyone know what you’re thinking.” Sebuah amanat dari kepala mafia, mobster, la cosa nostra, atau lumrahnya di cerita ini disebut kepala keluarga. Tapi Santino yang ngeyel, gegabah, dan pemarah memilih mengabaikannya. Di ambang pintu tol itu ia dihujani peluru, mayatnya diludahi, dan ditendang.

Sebuah ambisi dan nafsu ekspansi bisnis Michael mengantar maut kepada Moe Greene, seorang pengusaha besar di Las Vegas. Sebutir peluru jatuh persis di antara matanya. “It’s not personal. It’s just business,” kata Hyman Roth, Yahudi tua, teman dekat Moe, kepada Michael.

Pada Bagian Pertama dan Kedua, Michael dan kita banyak belajar memahami Vito yang lembut, tetapi mampu memboya perut pembantai keluarganya dengan belati. Yang keras, tapi bersikukuh memaksa seorang ahli bedah untuk membersihkan ratusan lobang peluru di tubuh Santino hanya agar sang istri bisa melihat mayat anaknya.

Tapi pada Bagian Ketiga yang dibuat berselang 16 tahun setelah Bagian Kedua, Coppola menampilkan Michael dewasa dengan konflik sederhana (meskipun disuguhkan dengan setting yang sangat internasional: ada ekspansi bisnis ke Eropa, menguasai Immobiliare, sebuah perusahaan terhormat di daratan Eropa yang dikendalikan dari Vatikan). Michael tidak lagi menggebu-gebu mengobral nafsu meluaskan kerajaannya di Vegas, melobi senator dan petinggi-petinggi di Kuba, memburu dan membunuh Hyman, serta menunjukkan taringnya kepada Fredo, sang kakak, dan Kay, istrinya.

Intrik sederhana dengan porsi seperlunya muncul antara Michael dan Don Altobello, dan diakhiri dengan sederhana pula: Vincenzo menyusup ke kubu Altobello dan pulang dengan selamat setelah menyuplai cukup informasi bagi Michael. Kita semua tentu masih ingat di Bagian Pertama Luca Brasi pernah dikirim Vito ke kubu Tataglia, juga sebagai pengkhianat dan gagal. Saat itu kita barangkali teperenyak, kaget, karena karakter Luca yang dibangun di atas cerita Michael kepada Kay tentang seorang pemimpin band, membuat kita serta-merta percaya Luca adalah centeng yang tangguh.

“Hello, Michael. It’s Kay.” Seorang kekasih, istri, ibu, seorang sahabat, yang selalu mencintai Michael dengan caranya sendiri. Kay yang selalu cantik di setiap episode, yang berpikir, dan insyaf tidak akan lagi memberikan keturunan kepada Michael. Sebuah aborsi untuk hidup “yang jahat dan tidak suci”. Kay yang tetap menjadi bagian hidup Michael. Mereka menikah setelah Michael meninggalkannya tanpa kabar selama tiga tahun dalam pelarian, dan Kay mengunjungi Michael di rumah sakit setelah mereka bercerai. Tidak ada kilas balik penuh amarah dan dendam tentang hubungan mereka di Bagian Kedua. Meskipun kita semua ingat bagaimana wajah Kay yang gentar, yang sendiri dalam ketakutannya ketika di ambang lawang Michael menutup pintu itu pelan tanpa kata-kata sambil membuang muka, penolakan terhadap kehadirannya.

Tapi Bagian Ketiga menawarkan lain. Ia perlu sebuah penjelasan verbal sebagai kilas balik, “I did what I could, Kay, to protect all of you from the horrors of this world,” kata Michael. “But you became my horror.” Instan, seperti polaroid. Sebuah panduan yang arif bagi penonton yang tidak sempat melihat episode-episode sebelumnya.

Di episode, yang memilih ciptaan Carmine Coppola sebagai lagu tema—dalam kurung—alih-alih gubahan Nino Rota, ini kita akan menemukan nostalgia. Sebuah reuni tanpa karakter Thomas Hagen, sang pengacara (yang jujur ingin sekali saya lihat perannya pada episode ini setelah agak “tersingkir” oleh dominasi Michael di Bagian Kedua). Sayang, karakter J.B. Hamilton memupuskan harapan itu. Sebagai “orang luar”, J.B. hanya bertugas mengulangi kata-kata Michael dan menyerahkan kontrak untuk ditandatangani.

Memahami Bagian Ketiga adalah memahami Don Altobello yang letih, “Michael, I’ve lost all the venom, all the juice of youth. I’ve lost the lust for women, and now my mind is clear.” Maka kita bisa menerima dengan tulus bila pada episode ini Michael pun hanya menjadi ayah yang ingin mencintai Mary, seperti sang sutradara dan Sofia.

Kepada Vincenzo, Michael berkata, “When they come, they’ll come at what you love.” Peringatan dini, agar awas akan marabahaya. Saat itu Vincenzo mengangguk. Dua buah ancangan pembunuhan terhadap enam orang dari dua kubu berbeda dibuat. Yang pertama adalah pembunuhan Don Luchessi, Don Altobello, Frederick Keinszig, dan Archbishop Gilday. Yang kedua adalah pembunuhan Michael dan Paus baru.

Lima orang dalam daftar, mati terbunuh malam itu. Don Luchessi tewas ditikam dengan kacamatanya sendiri. Don Altobello mati karena racun dalam cannoli. Keinszig kehabisan napas saat dibekap di atas tempat tidurnya. Archbishop tewas ditembak. Dan Paus baru itu tidur panjang seusai menyeruput teh hangat. Semua tumpas malam itu.

Tidak ada yang menangisi mereka. Hanya seorang suster yang meratap kepergian Sri Paus. Dan Michael yang meratap dan meraung untuk kematian Mary, sang putri yang sangat mencintainya dan dicintainya di muka gedung opera (Sofia Coppola berhasil membuat Mary sangat mudah dicintai siapa pun, “an offer you can’t refuse”—walaupun kebanyakan komentar tidak sepakat).

Saat itulah kita semua sadar, inilah satu-satunya kematian dalam trilogi Godfather yang dibuat Coppola spesial hanya untuk menguras air mata.

No comments: