Nightrain
Sebenernya sih tidak ada niatan untuk posting pagi ini. Cuma mumet, pusing, mual, karena tidak juga bisa mengoperasikan software baru yang keren tapi brengsek itu, membuat saya mampir ke sini. Maka dari itu, marilah kita tinggalkan sejenak dunia nyata dan muntah-muntah di dunia maya. Ups, sori, pernyataan tadi bukan berarti saya menganggap sidang pembaca sekalian sebagai lalat yang berkumpul di tempat sampah ya hehehehe. Bukan. Sama sekali bukan (kok jadi gini sih).
Pokoknya begini. Karena memang niat tulisan ini cuma jadi pelarian, jadi tolong jangan disalahartikan. Kalau seandainya ada orang yang patut disalahkan. Maka marilah kita sama-sama mengutuk orang percetakan yang diam-diam memaksa saya belajar program baru yang bikin tiga malam terakhir ini tak ubahnya kursus mandiri tanpa akhir. Tidak ada instruktur kecuali google. Dan tidak ada tenggat kursus kecuali tiba-tiba saya merasa bisa. Payah.
Ceritanya begini. Adalah "menyenangkan" karena malam ini saya terpaksa mendengarkan siaran radio. Temanya menarik: Guns N’ Roses. Setidak-tidaknya buat saya. Soalnya, ada banyak hal yang membuat band ini dekat dengan saya (tsah).
So anyway (hehehehe), kabar bahwa ada stasiun radio yang bakal mengangkat GNR sebagai topik pembicaraan malam ini tentu menjadi daya tarik tersendiri buat saya. Tanpa disuruh dua kali saya langsung mencari radio—yang tidak saya temukan di ruangan saya, ruangan sebelah, ruangan di seberang ruangan saya, bahkan di resepsionis yang terletak di lantai dasar. Apesnya, Indovision yang notabene menyertakan sejumlah radio di channelnya ternyata tidak memasukkan radio ini. Untungnya pada akhirnya sebuah radio saya temukan di depan kantor bersama para sekuriti yang sibuk main kartu. Tawar-menawar terjadi, hingga akhirnya radio itu berhasil saya boyong ke ruangan.
Ah acara sudah berlangsung sebelum saya menghidupkan radio itu. Saya mulai dari Reckless Life. Lagu yang sangat terkenal dengan opening MC (aslinya adalah teriakan seorang roadie): “Heeeeey fuckers, suck on Guns N’ fuckin’ Roseeeees!”. Menarik. Lagu berikutnya Think About You. Lagu yang juga sangat menarik karena memperdengarkan suara gitar akustik dengan petikan sederhana di bagian refrain sekaligus menjadi rhythm yang manis. Tidak ada yang salah di situ. Sampai detik itu saya tidak menyesal mendengar radio malam ini, meskipun itu harus ditebus dengan sebungkus Dji Sam Soe buat bapak-bapak sekuriti yang baik hati.
Tapi kebahagiaan tidak berlangsung lama. Sesaat setelah penyiar dan para komentator membuka mulutnya, saya mulai merasa salah langkah. Kenapa? Menurut saya komentator di radio itu belum siap menerima kenyataan bahwa menjadi komentator musik rock adalah posisi yang terhormat, terpandang, dan menginspirasi, sama halnya seperti komentator bola yang selalu berjas itu (yang bahkan seringkali terdengar lebih pandai ketimbang pemain bolanya sendiri).
Selama 15 menit pertama, omong-omong nonsens, tidak penting, yang saya dengarkan adalah seputar peringatan bahwa stasiun radio yang sedang saya dengarkan itu adalah "radio keluarga". Jadi tidak pantas untuk mengatakan kata-kata kotor, tidak sopan, atau “F words” saat siaran. Kendati demikian para komentator-entah-siapa-itu terus saja mengulang-ulang perkataan tak sopannya sebagai cemoohan. Pada saat itu biasanya seorang yang lain akan meyebut peringatan "radio keluarga" tadi, juga sebagai olok-olok. Kejadian ini berulang sejak saya mulai mendengarkan radio itu, sampai acara nyaris berakhir.
Contoh omong kosong lainnya adalah ketika mereka mengomentari lagu Rocket Queen dari Appetite for Destruction yang menjadi salah satu favorit saya karena memiliki dua bagian lagu yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Setidaknya begitulah wujudnya saat diperkenalkan kepada publik ketika lagu ini akhirnya dirilis bersama album Appetite. Bagian kedua itu, ujar salah seorang komentator, “sangat catchy, easy listening,....” Informasi dari si komentator masih berlanjut ke penjelasan tentang sound effect erangan perempuan dalam lagu itu yang ternyata adalah asli adanya. Sayangnya penjelasan itu terhenti karena olok-olok tentang “radio keluarga” tadi muncul lagi.
Mengenai “sangat catchy, easy listening,...” tentu kita sepakat. Tapi jujur, bila kita mau mendengar versi demo lagu itu (bersama versi demo November Rain yang outronya masih dimainkan seperti musik pengiring tarian anak-anak itu), mungkin kita sama-sama bersepakat untuk mengacungkan jempol buat Mike Clink yang secara luar biasa mengubah sound standar demo itu menjadi “catchy” seperti yang bisa kita nikmati saat ini.
Dan mengenai Rocket Queen, wiki jelas punya informasi yang lebih lengkap ketimbang “pelawak-pelawak” di radio malam itu—yang enteng saja mengabaikan komentar seorang penelepon hanya karena dia hendak mengutarakan salah satu joke-nya tentang KNPI. Atau, konyolnya lagi ada “adlips” tentang Izzi Pizza yang dikait-kaitkan dengan nama Izzy Stradlin. Atau lagi, mendadak ramai berkomentar ketika mengolok-olok nama peserta band yang ikut festival Metal Madness di Bulungan nanti. Salah satu komentator itu bahkan menirukan suara vokal penyanyi band hardcore dengan cara mencemooh. Tidak masuk akal, olok-olok ala remaja ingusan baru masuk masa akil balig itu disajikan di radio! Dan kualitas ingusan itu terasa benar ketika para komentator itu hanya mampu menjelaskan, kepada seorang pendengar yang bertanya melalui SMS, bahwa lagu Don’t Cry adalah lagu cinta!
Tentu para komentator itu seharusnya tahu bahwa ada biaya untuk airtime yang tidak murah. Atau minimal ada biaya untuk listrik si stasiun radio yang juga tidak murah. Atau lagi, tentunya mereka juga sadar bahwa pendengar tidak perlu membuang-buang waktu terlalu banyak hanya untuk menyimak aksi anarkis komentator musik rock—yang jujur saya anggap tidak punya banyak pengetahuan tentang topik yang mereka bicarakan saat itu di radio, sebagai media massa, media publik (mungkin seharusnya mereka belajar menulis di blog saja dulu, dengan tulisan besar-besar dan dicetak tebal di bagian banner: “BELAJAR”).
Jadi, buat saya, secara rata-rata momen selama satu jam itu (terhitung sejak saya mulai meminjam radio sampai saya mengembalikannya lagi kepada bapak-bapak sekuriti) adalah momen paling memalukan ketika orang-orang itu secara terang-terangan merendahkan derajat komentator musik rock sekaligus melecehkan kehormatan yang diwariskan oleh Lester Bangs kepada jurnalis musik rock.
Semoga tuhan mengampuni dosa kalian.
Dan sekarang saatnya saya turun kembali ke dunia nyata... (puwassssh)
Sebenernya sih tidak ada niatan untuk posting pagi ini. Cuma mumet, pusing, mual, karena tidak juga bisa mengoperasikan software baru yang keren tapi brengsek itu, membuat saya mampir ke sini. Maka dari itu, marilah kita tinggalkan sejenak dunia nyata dan muntah-muntah di dunia maya. Ups, sori, pernyataan tadi bukan berarti saya menganggap sidang pembaca sekalian sebagai lalat yang berkumpul di tempat sampah ya hehehehe. Bukan. Sama sekali bukan (kok jadi gini sih).
Pokoknya begini. Karena memang niat tulisan ini cuma jadi pelarian, jadi tolong jangan disalahartikan. Kalau seandainya ada orang yang patut disalahkan. Maka marilah kita sama-sama mengutuk orang percetakan yang diam-diam memaksa saya belajar program baru yang bikin tiga malam terakhir ini tak ubahnya kursus mandiri tanpa akhir. Tidak ada instruktur kecuali google. Dan tidak ada tenggat kursus kecuali tiba-tiba saya merasa bisa. Payah.
Ceritanya begini. Adalah "menyenangkan" karena malam ini saya terpaksa mendengarkan siaran radio. Temanya menarik: Guns N’ Roses. Setidak-tidaknya buat saya. Soalnya, ada banyak hal yang membuat band ini dekat dengan saya (tsah).
So anyway (hehehehe), kabar bahwa ada stasiun radio yang bakal mengangkat GNR sebagai topik pembicaraan malam ini tentu menjadi daya tarik tersendiri buat saya. Tanpa disuruh dua kali saya langsung mencari radio—yang tidak saya temukan di ruangan saya, ruangan sebelah, ruangan di seberang ruangan saya, bahkan di resepsionis yang terletak di lantai dasar. Apesnya, Indovision yang notabene menyertakan sejumlah radio di channelnya ternyata tidak memasukkan radio ini. Untungnya pada akhirnya sebuah radio saya temukan di depan kantor bersama para sekuriti yang sibuk main kartu. Tawar-menawar terjadi, hingga akhirnya radio itu berhasil saya boyong ke ruangan.
Ah acara sudah berlangsung sebelum saya menghidupkan radio itu. Saya mulai dari Reckless Life. Lagu yang sangat terkenal dengan opening MC (aslinya adalah teriakan seorang roadie): “Heeeeey fuckers, suck on Guns N’ fuckin’ Roseeeees!”. Menarik. Lagu berikutnya Think About You. Lagu yang juga sangat menarik karena memperdengarkan suara gitar akustik dengan petikan sederhana di bagian refrain sekaligus menjadi rhythm yang manis. Tidak ada yang salah di situ. Sampai detik itu saya tidak menyesal mendengar radio malam ini, meskipun itu harus ditebus dengan sebungkus Dji Sam Soe buat bapak-bapak sekuriti yang baik hati.
Tapi kebahagiaan tidak berlangsung lama. Sesaat setelah penyiar dan para komentator membuka mulutnya, saya mulai merasa salah langkah. Kenapa? Menurut saya komentator di radio itu belum siap menerima kenyataan bahwa menjadi komentator musik rock adalah posisi yang terhormat, terpandang, dan menginspirasi, sama halnya seperti komentator bola yang selalu berjas itu (yang bahkan seringkali terdengar lebih pandai ketimbang pemain bolanya sendiri).
Selama 15 menit pertama, omong-omong nonsens, tidak penting, yang saya dengarkan adalah seputar peringatan bahwa stasiun radio yang sedang saya dengarkan itu adalah "radio keluarga". Jadi tidak pantas untuk mengatakan kata-kata kotor, tidak sopan, atau “F words” saat siaran. Kendati demikian para komentator-entah-siapa-itu terus saja mengulang-ulang perkataan tak sopannya sebagai cemoohan. Pada saat itu biasanya seorang yang lain akan meyebut peringatan "radio keluarga" tadi, juga sebagai olok-olok. Kejadian ini berulang sejak saya mulai mendengarkan radio itu, sampai acara nyaris berakhir.
Contoh omong kosong lainnya adalah ketika mereka mengomentari lagu Rocket Queen dari Appetite for Destruction yang menjadi salah satu favorit saya karena memiliki dua bagian lagu yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Setidaknya begitulah wujudnya saat diperkenalkan kepada publik ketika lagu ini akhirnya dirilis bersama album Appetite. Bagian kedua itu, ujar salah seorang komentator, “sangat catchy, easy listening,....” Informasi dari si komentator masih berlanjut ke penjelasan tentang sound effect erangan perempuan dalam lagu itu yang ternyata adalah asli adanya. Sayangnya penjelasan itu terhenti karena olok-olok tentang “radio keluarga” tadi muncul lagi.
Mengenai “sangat catchy, easy listening,...” tentu kita sepakat. Tapi jujur, bila kita mau mendengar versi demo lagu itu (bersama versi demo November Rain yang outronya masih dimainkan seperti musik pengiring tarian anak-anak itu), mungkin kita sama-sama bersepakat untuk mengacungkan jempol buat Mike Clink yang secara luar biasa mengubah sound standar demo itu menjadi “catchy” seperti yang bisa kita nikmati saat ini.
Dan mengenai Rocket Queen, wiki jelas punya informasi yang lebih lengkap ketimbang “pelawak-pelawak” di radio malam itu—yang enteng saja mengabaikan komentar seorang penelepon hanya karena dia hendak mengutarakan salah satu joke-nya tentang KNPI. Atau, konyolnya lagi ada “adlips” tentang Izzi Pizza yang dikait-kaitkan dengan nama Izzy Stradlin. Atau lagi, mendadak ramai berkomentar ketika mengolok-olok nama peserta band yang ikut festival Metal Madness di Bulungan nanti. Salah satu komentator itu bahkan menirukan suara vokal penyanyi band hardcore dengan cara mencemooh. Tidak masuk akal, olok-olok ala remaja ingusan baru masuk masa akil balig itu disajikan di radio! Dan kualitas ingusan itu terasa benar ketika para komentator itu hanya mampu menjelaskan, kepada seorang pendengar yang bertanya melalui SMS, bahwa lagu Don’t Cry adalah lagu cinta!
Tentu para komentator itu seharusnya tahu bahwa ada biaya untuk airtime yang tidak murah. Atau minimal ada biaya untuk listrik si stasiun radio yang juga tidak murah. Atau lagi, tentunya mereka juga sadar bahwa pendengar tidak perlu membuang-buang waktu terlalu banyak hanya untuk menyimak aksi anarkis komentator musik rock—yang jujur saya anggap tidak punya banyak pengetahuan tentang topik yang mereka bicarakan saat itu di radio, sebagai media massa, media publik (mungkin seharusnya mereka belajar menulis di blog saja dulu, dengan tulisan besar-besar dan dicetak tebal di bagian banner: “BELAJAR”).
Jadi, buat saya, secara rata-rata momen selama satu jam itu (terhitung sejak saya mulai meminjam radio sampai saya mengembalikannya lagi kepada bapak-bapak sekuriti) adalah momen paling memalukan ketika orang-orang itu secara terang-terangan merendahkan derajat komentator musik rock sekaligus melecehkan kehormatan yang diwariskan oleh Lester Bangs kepada jurnalis musik rock.
Semoga tuhan mengampuni dosa kalian.
Dan sekarang saatnya saya turun kembali ke dunia nyata... (puwassssh)
No comments:
Post a Comment