lady cath (close up)
tengkyu buat dua gelas kopi, sebutir CDR, separuh bungkus rokok, MP3 bob dylan dari hilman, dan kerjaan pak bos yang "rela" ditunda-padahal-ini-udah-jam-4.20-pagi!
tengkyu buat dua gelas kopi, sebutir CDR, separuh bungkus rokok, MP3 bob dylan dari hilman, dan kerjaan pak bos yang "rela" ditunda-padahal-ini-udah-jam-4.20-pagi!
Train of Thought
Ada macam-macam kepercayaan di musik rock yang bilang begini dan begitu. Bila Anda ingin mendengar suara petikan gitar supercepat Anda harus dengar Yngwie Malmsteen. Seperti Lucky Luke, ia memetik gitar lebih cepat dari suaranya. Lalu, bila Anda tidak percaya suara lembu melenguh bisa keluar dari sepotong gitar listrik, Anda harus mencoba Steve Vai atau Joe Satriani (“lenguhan lembu” bisa diganti “desahan si dia”). Buat Anda yang tergila-gila dengan harmonisasi, Brian May atau duet Hammet-Hetfield bisa jadi referensi yang pas. Tapi bila Anda mencari band yang setiap anggotanya punya skill secanggih Lucky Luke dan bisa menghasilkan harmonisasi lenguhan lembu dari setiap instrumen yang mereka mainkan, Anda seharusnya mendengarkan Dream Theater (sekali lagi, agar lebih persuasif “harmonisasi lenguhan lembu” bisa diganti “harmonisasi desahan lembu... halah desahan si dia”).
Seperti Dewa, cikal bakal Dream Theater sudah ada sejak 20 tahun silam. Selama itu tidak kurang delapan album (tidak termasuk When Dream and Day Unite dan tujuh album live) mereka hasilkan dan menjadi inspirasi banyak orang. Seorang teman pernah berseloroh, “Kalau saja Dewa punya skill dan punya taste seperenam-belas kali mereka, mungkin Dewa sudah bisa jadi band kelas dunia, gak mungkin sebesar Metallica sih, tapi minimal 20 peringkat di bawah Tatu. Sayang Dhani terlalu sering membaca Gibran dan Philip Kotler.”
Tapi Dream Theater juga tidak pernah menjadi sebesar Metallica. Walaupun saya menolak anggapan bahwa jenis musik Metallica mudah disukai semua orang, saya pikir apa yang disajikan Dream Theater memang terbilang rumit bagi pendengar Sex Pistols atau Green Day, misalnya (mudah-mudahan barudak punk ti Saparua tidak pernah mampir di blog ini). Tapi alasan paling tepat mengapa Dream Theater tidak pernah sebesar Metallica hanyalah karena mereka tidak punya hits sepopuler Enter Sandman yang intronya lazim menjadi repertoar andalan bocah baru belajar gitar. Atau Unforgiven dan Nothing Else Matter yang bisa dinikmati teman SMA saya yang perempuan.
Kita semua masih ingat betapa dahsyatnya Scenes from a Memory yang membuat kita seakan lupa ada berapa lagu di dalamnya karena semua lagu di album itu benar-benar menjadi satu dan menjadi bagian dari satu kesatuan cerita. Dalam konser mereka untuk album itu, kita benar-benar hanya disuguhkan permainan dari satu album itu tok. Layaknya teater, album itu adalah daftar musik pengiring yang sudah disusun sesuai dengan babak-babak cerita. Sayang video konser luar biasa di New York itu terkesan tidak disunting apik secantik musik di dalamnya. Banyak sekali VT-VT tidak penting yang merusak di video Live Scenes from New York itu. Bayangkan, dalam hal peralihan gambar ataupun ketika split screen (horizontal ataupun vertikal) gaya editing ala TVRI era Kamera Ria Nusantara masih dipertahankan di video itu (video dirilis pada 2001). Belum lagi tambahan efek cinema scope yang dihias warna-warni itu. Ampyuuuuun.
Akan tetapi, itulah Dream Theater yang saya kenal. Mereka tidak memikirkan hal lain selain bermusik. Dan itu bisa dilihat jelas dari karya-karya mereka dari pertama kali berdiri hingga saat ini. Learning to Live sudah menetas menjadi Beyond This Life dan terbang seperti Honor Thy Father. Begitu juga Erotomania yang menjadi The Dance of Eternity dan menjelma jadi Stream of Conciousness. Mereka tumbuh, dewasa , tapi tidak menjadi lelah karena tua. Mereka juga terlalu rendah hati sehingga mau “turun ke dunia” hanya untuk memainkan satu album penuh Master of Puppets, walaupun kita tahu Perfect Stranger versi mereka adalah sempurna ketimbang Deep Purple atau Funeral for a Friend (Love Lies Bleeding) versi mereka adalah perayaan musikal paling akbar yang mengingatkan kita akan kematian Elton John sebagai musisi rock.
Tapi, sekali lagi tapi, semoga saja saya benar. Semoga saja setelah Octavarium, Dream Theater akan kembali. Semoga saja saya tidak gegabah seperti Imanis bahlul yang buru-buru menjatuhkan talak karena keburu kepincut Avenged Sevenfold yang muda belia hanya untuk kencan semalam. Ah Avenged, kalian benar-benar meruntuhkan iman, melelehkan hati.
Ada macam-macam kepercayaan di musik rock yang bilang begini dan begitu. Bila Anda ingin mendengar suara petikan gitar supercepat Anda harus dengar Yngwie Malmsteen. Seperti Lucky Luke, ia memetik gitar lebih cepat dari suaranya. Lalu, bila Anda tidak percaya suara lembu melenguh bisa keluar dari sepotong gitar listrik, Anda harus mencoba Steve Vai atau Joe Satriani (“lenguhan lembu” bisa diganti “desahan si dia”). Buat Anda yang tergila-gila dengan harmonisasi, Brian May atau duet Hammet-Hetfield bisa jadi referensi yang pas. Tapi bila Anda mencari band yang setiap anggotanya punya skill secanggih Lucky Luke dan bisa menghasilkan harmonisasi lenguhan lembu dari setiap instrumen yang mereka mainkan, Anda seharusnya mendengarkan Dream Theater (sekali lagi, agar lebih persuasif “harmonisasi lenguhan lembu” bisa diganti “harmonisasi desahan lembu... halah desahan si dia”).
Seperti Dewa, cikal bakal Dream Theater sudah ada sejak 20 tahun silam. Selama itu tidak kurang delapan album (tidak termasuk When Dream and Day Unite dan tujuh album live) mereka hasilkan dan menjadi inspirasi banyak orang. Seorang teman pernah berseloroh, “Kalau saja Dewa punya skill dan punya taste seperenam-belas kali mereka, mungkin Dewa sudah bisa jadi band kelas dunia, gak mungkin sebesar Metallica sih, tapi minimal 20 peringkat di bawah Tatu. Sayang Dhani terlalu sering membaca Gibran dan Philip Kotler.”
Tapi Dream Theater juga tidak pernah menjadi sebesar Metallica. Walaupun saya menolak anggapan bahwa jenis musik Metallica mudah disukai semua orang, saya pikir apa yang disajikan Dream Theater memang terbilang rumit bagi pendengar Sex Pistols atau Green Day, misalnya (mudah-mudahan barudak punk ti Saparua tidak pernah mampir di blog ini). Tapi alasan paling tepat mengapa Dream Theater tidak pernah sebesar Metallica hanyalah karena mereka tidak punya hits sepopuler Enter Sandman yang intronya lazim menjadi repertoar andalan bocah baru belajar gitar. Atau Unforgiven dan Nothing Else Matter yang bisa dinikmati teman SMA saya yang perempuan.
Kita semua masih ingat betapa dahsyatnya Scenes from a Memory yang membuat kita seakan lupa ada berapa lagu di dalamnya karena semua lagu di album itu benar-benar menjadi satu dan menjadi bagian dari satu kesatuan cerita. Dalam konser mereka untuk album itu, kita benar-benar hanya disuguhkan permainan dari satu album itu tok. Layaknya teater, album itu adalah daftar musik pengiring yang sudah disusun sesuai dengan babak-babak cerita. Sayang video konser luar biasa di New York itu terkesan tidak disunting apik secantik musik di dalamnya. Banyak sekali VT-VT tidak penting yang merusak di video Live Scenes from New York itu. Bayangkan, dalam hal peralihan gambar ataupun ketika split screen (horizontal ataupun vertikal) gaya editing ala TVRI era Kamera Ria Nusantara masih dipertahankan di video itu (video dirilis pada 2001). Belum lagi tambahan efek cinema scope yang dihias warna-warni itu. Ampyuuuuun.
Akan tetapi, itulah Dream Theater yang saya kenal. Mereka tidak memikirkan hal lain selain bermusik. Dan itu bisa dilihat jelas dari karya-karya mereka dari pertama kali berdiri hingga saat ini. Learning to Live sudah menetas menjadi Beyond This Life dan terbang seperti Honor Thy Father. Begitu juga Erotomania yang menjadi The Dance of Eternity dan menjelma jadi Stream of Conciousness. Mereka tumbuh, dewasa , tapi tidak menjadi lelah karena tua. Mereka juga terlalu rendah hati sehingga mau “turun ke dunia” hanya untuk memainkan satu album penuh Master of Puppets, walaupun kita tahu Perfect Stranger versi mereka adalah sempurna ketimbang Deep Purple atau Funeral for a Friend (Love Lies Bleeding) versi mereka adalah perayaan musikal paling akbar yang mengingatkan kita akan kematian Elton John sebagai musisi rock.
Tapi, sekali lagi tapi, semoga saja saya benar. Semoga saja setelah Octavarium, Dream Theater akan kembali. Semoga saja saya tidak gegabah seperti Imanis bahlul yang buru-buru menjatuhkan talak karena keburu kepincut Avenged Sevenfold yang muda belia hanya untuk kencan semalam. Ah Avenged, kalian benar-benar meruntuhkan iman, melelehkan hati.
An Image and Words
Tidak seperti band lainnya, terus terang saya tidak ingat album Dream Theater pertama yang saya dengar. Di era MP3 seperti saat ini, sangat berat bagi saya untuk menjauhi godaan fasilitas pinjam-gandakan. Apalagi menikmati kemewahan menimang-nimang kotak CD dan membaca lirik lagu di sampulnya. Tapi saya masih ingat pertama kali nama band itu saya dengar.
Hari itu, siang-siang seorang mahasiswa D3, seorang teman, baru saja selesai memainkan satu lagu dengan piano yang ada di auditorium kampus. Suaranya bagus dan ia juga sangat mahir memainkan piano itu. Saya tidak ingat lagu apa yang dia mainkan. Tapi saya ingat betul dia bilang lagu itu lagu Dream Theater dan saya harus mencobanya. Setelah bertahun kemudian saya ingin berterima kasih kepada teman saya yang gondrong itu. Dan saya harus bilang kepada si teman itu, Metallica harus sesekali memainkan A Change of Seasons. Sayang, sampai sekarang saya tidak pernah berhasil mengingat nama si gondrong.
tulisan dream theater dan simbol majesty dipinjam dari wiki
Tidak seperti band lainnya, terus terang saya tidak ingat album Dream Theater pertama yang saya dengar. Di era MP3 seperti saat ini, sangat berat bagi saya untuk menjauhi godaan fasilitas pinjam-gandakan. Apalagi menikmati kemewahan menimang-nimang kotak CD dan membaca lirik lagu di sampulnya. Tapi saya masih ingat pertama kali nama band itu saya dengar.
Hari itu, siang-siang seorang mahasiswa D3, seorang teman, baru saja selesai memainkan satu lagu dengan piano yang ada di auditorium kampus. Suaranya bagus dan ia juga sangat mahir memainkan piano itu. Saya tidak ingat lagu apa yang dia mainkan. Tapi saya ingat betul dia bilang lagu itu lagu Dream Theater dan saya harus mencobanya. Setelah bertahun kemudian saya ingin berterima kasih kepada teman saya yang gondrong itu. Dan saya harus bilang kepada si teman itu, Metallica harus sesekali memainkan A Change of Seasons. Sayang, sampai sekarang saya tidak pernah berhasil mengingat nama si gondrong.
tulisan dream theater dan simbol majesty dipinjam dari wiki
Nightrain
Sebenernya sih tidak ada niatan untuk posting pagi ini. Cuma mumet, pusing, mual, karena tidak juga bisa mengoperasikan software baru yang keren tapi brengsek itu, membuat saya mampir ke sini. Maka dari itu, marilah kita tinggalkan sejenak dunia nyata dan muntah-muntah di dunia maya. Ups, sori, pernyataan tadi bukan berarti saya menganggap sidang pembaca sekalian sebagai lalat yang berkumpul di tempat sampah ya hehehehe. Bukan. Sama sekali bukan (kok jadi gini sih).
Pokoknya begini. Karena memang niat tulisan ini cuma jadi pelarian, jadi tolong jangan disalahartikan. Kalau seandainya ada orang yang patut disalahkan. Maka marilah kita sama-sama mengutuk orang percetakan yang diam-diam memaksa saya belajar program baru yang bikin tiga malam terakhir ini tak ubahnya kursus mandiri tanpa akhir. Tidak ada instruktur kecuali google. Dan tidak ada tenggat kursus kecuali tiba-tiba saya merasa bisa. Payah.
Ceritanya begini. Adalah "menyenangkan" karena malam ini saya terpaksa mendengarkan siaran radio. Temanya menarik: Guns N’ Roses. Setidak-tidaknya buat saya. Soalnya, ada banyak hal yang membuat band ini dekat dengan saya (tsah).
So anyway (hehehehe), kabar bahwa ada stasiun radio yang bakal mengangkat GNR sebagai topik pembicaraan malam ini tentu menjadi daya tarik tersendiri buat saya. Tanpa disuruh dua kali saya langsung mencari radio—yang tidak saya temukan di ruangan saya, ruangan sebelah, ruangan di seberang ruangan saya, bahkan di resepsionis yang terletak di lantai dasar. Apesnya, Indovision yang notabene menyertakan sejumlah radio di channelnya ternyata tidak memasukkan radio ini. Untungnya pada akhirnya sebuah radio saya temukan di depan kantor bersama para sekuriti yang sibuk main kartu. Tawar-menawar terjadi, hingga akhirnya radio itu berhasil saya boyong ke ruangan.
Ah acara sudah berlangsung sebelum saya menghidupkan radio itu. Saya mulai dari Reckless Life. Lagu yang sangat terkenal dengan opening MC (aslinya adalah teriakan seorang roadie): “Heeeeey fuckers, suck on Guns N’ fuckin’ Roseeeees!”. Menarik. Lagu berikutnya Think About You. Lagu yang juga sangat menarik karena memperdengarkan suara gitar akustik dengan petikan sederhana di bagian refrain sekaligus menjadi rhythm yang manis. Tidak ada yang salah di situ. Sampai detik itu saya tidak menyesal mendengar radio malam ini, meskipun itu harus ditebus dengan sebungkus Dji Sam Soe buat bapak-bapak sekuriti yang baik hati.
Tapi kebahagiaan tidak berlangsung lama. Sesaat setelah penyiar dan para komentator membuka mulutnya, saya mulai merasa salah langkah. Kenapa? Menurut saya komentator di radio itu belum siap menerima kenyataan bahwa menjadi komentator musik rock adalah posisi yang terhormat, terpandang, dan menginspirasi, sama halnya seperti komentator bola yang selalu berjas itu (yang bahkan seringkali terdengar lebih pandai ketimbang pemain bolanya sendiri).
Selama 15 menit pertama, omong-omong nonsens, tidak penting, yang saya dengarkan adalah seputar peringatan bahwa stasiun radio yang sedang saya dengarkan itu adalah "radio keluarga". Jadi tidak pantas untuk mengatakan kata-kata kotor, tidak sopan, atau “F words” saat siaran. Kendati demikian para komentator-entah-siapa-itu terus saja mengulang-ulang perkataan tak sopannya sebagai cemoohan. Pada saat itu biasanya seorang yang lain akan meyebut peringatan "radio keluarga" tadi, juga sebagai olok-olok. Kejadian ini berulang sejak saya mulai mendengarkan radio itu, sampai acara nyaris berakhir.
Contoh omong kosong lainnya adalah ketika mereka mengomentari lagu Rocket Queen dari Appetite for Destruction yang menjadi salah satu favorit saya karena memiliki dua bagian lagu yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Setidaknya begitulah wujudnya saat diperkenalkan kepada publik ketika lagu ini akhirnya dirilis bersama album Appetite. Bagian kedua itu, ujar salah seorang komentator, “sangat catchy, easy listening,....” Informasi dari si komentator masih berlanjut ke penjelasan tentang sound effect erangan perempuan dalam lagu itu yang ternyata adalah asli adanya. Sayangnya penjelasan itu terhenti karena olok-olok tentang “radio keluarga” tadi muncul lagi.
Mengenai “sangat catchy, easy listening,...” tentu kita sepakat. Tapi jujur, bila kita mau mendengar versi demo lagu itu (bersama versi demo November Rain yang outronya masih dimainkan seperti musik pengiring tarian anak-anak itu), mungkin kita sama-sama bersepakat untuk mengacungkan jempol buat Mike Clink yang secara luar biasa mengubah sound standar demo itu menjadi “catchy” seperti yang bisa kita nikmati saat ini.
Dan mengenai Rocket Queen, wiki jelas punya informasi yang lebih lengkap ketimbang “pelawak-pelawak” di radio malam itu—yang enteng saja mengabaikan komentar seorang penelepon hanya karena dia hendak mengutarakan salah satu joke-nya tentang KNPI. Atau, konyolnya lagi ada “adlips” tentang Izzi Pizza yang dikait-kaitkan dengan nama Izzy Stradlin. Atau lagi, mendadak ramai berkomentar ketika mengolok-olok nama peserta band yang ikut festival Metal Madness di Bulungan nanti. Salah satu komentator itu bahkan menirukan suara vokal penyanyi band hardcore dengan cara mencemooh. Tidak masuk akal, olok-olok ala remaja ingusan baru masuk masa akil balig itu disajikan di radio! Dan kualitas ingusan itu terasa benar ketika para komentator itu hanya mampu menjelaskan, kepada seorang pendengar yang bertanya melalui SMS, bahwa lagu Don’t Cry adalah lagu cinta!
Tentu para komentator itu seharusnya tahu bahwa ada biaya untuk airtime yang tidak murah. Atau minimal ada biaya untuk listrik si stasiun radio yang juga tidak murah. Atau lagi, tentunya mereka juga sadar bahwa pendengar tidak perlu membuang-buang waktu terlalu banyak hanya untuk menyimak aksi anarkis komentator musik rock—yang jujur saya anggap tidak punya banyak pengetahuan tentang topik yang mereka bicarakan saat itu di radio, sebagai media massa, media publik (mungkin seharusnya mereka belajar menulis di blog saja dulu, dengan tulisan besar-besar dan dicetak tebal di bagian banner: “BELAJAR”).
Jadi, buat saya, secara rata-rata momen selama satu jam itu (terhitung sejak saya mulai meminjam radio sampai saya mengembalikannya lagi kepada bapak-bapak sekuriti) adalah momen paling memalukan ketika orang-orang itu secara terang-terangan merendahkan derajat komentator musik rock sekaligus melecehkan kehormatan yang diwariskan oleh Lester Bangs kepada jurnalis musik rock.
Semoga tuhan mengampuni dosa kalian.
Dan sekarang saatnya saya turun kembali ke dunia nyata... (puwassssh)
Sebenernya sih tidak ada niatan untuk posting pagi ini. Cuma mumet, pusing, mual, karena tidak juga bisa mengoperasikan software baru yang keren tapi brengsek itu, membuat saya mampir ke sini. Maka dari itu, marilah kita tinggalkan sejenak dunia nyata dan muntah-muntah di dunia maya. Ups, sori, pernyataan tadi bukan berarti saya menganggap sidang pembaca sekalian sebagai lalat yang berkumpul di tempat sampah ya hehehehe. Bukan. Sama sekali bukan (kok jadi gini sih).
Pokoknya begini. Karena memang niat tulisan ini cuma jadi pelarian, jadi tolong jangan disalahartikan. Kalau seandainya ada orang yang patut disalahkan. Maka marilah kita sama-sama mengutuk orang percetakan yang diam-diam memaksa saya belajar program baru yang bikin tiga malam terakhir ini tak ubahnya kursus mandiri tanpa akhir. Tidak ada instruktur kecuali google. Dan tidak ada tenggat kursus kecuali tiba-tiba saya merasa bisa. Payah.
Ceritanya begini. Adalah "menyenangkan" karena malam ini saya terpaksa mendengarkan siaran radio. Temanya menarik: Guns N’ Roses. Setidak-tidaknya buat saya. Soalnya, ada banyak hal yang membuat band ini dekat dengan saya (tsah).
So anyway (hehehehe), kabar bahwa ada stasiun radio yang bakal mengangkat GNR sebagai topik pembicaraan malam ini tentu menjadi daya tarik tersendiri buat saya. Tanpa disuruh dua kali saya langsung mencari radio—yang tidak saya temukan di ruangan saya, ruangan sebelah, ruangan di seberang ruangan saya, bahkan di resepsionis yang terletak di lantai dasar. Apesnya, Indovision yang notabene menyertakan sejumlah radio di channelnya ternyata tidak memasukkan radio ini. Untungnya pada akhirnya sebuah radio saya temukan di depan kantor bersama para sekuriti yang sibuk main kartu. Tawar-menawar terjadi, hingga akhirnya radio itu berhasil saya boyong ke ruangan.
Ah acara sudah berlangsung sebelum saya menghidupkan radio itu. Saya mulai dari Reckless Life. Lagu yang sangat terkenal dengan opening MC (aslinya adalah teriakan seorang roadie): “Heeeeey fuckers, suck on Guns N’ fuckin’ Roseeeees!”. Menarik. Lagu berikutnya Think About You. Lagu yang juga sangat menarik karena memperdengarkan suara gitar akustik dengan petikan sederhana di bagian refrain sekaligus menjadi rhythm yang manis. Tidak ada yang salah di situ. Sampai detik itu saya tidak menyesal mendengar radio malam ini, meskipun itu harus ditebus dengan sebungkus Dji Sam Soe buat bapak-bapak sekuriti yang baik hati.
Tapi kebahagiaan tidak berlangsung lama. Sesaat setelah penyiar dan para komentator membuka mulutnya, saya mulai merasa salah langkah. Kenapa? Menurut saya komentator di radio itu belum siap menerima kenyataan bahwa menjadi komentator musik rock adalah posisi yang terhormat, terpandang, dan menginspirasi, sama halnya seperti komentator bola yang selalu berjas itu (yang bahkan seringkali terdengar lebih pandai ketimbang pemain bolanya sendiri).
Selama 15 menit pertama, omong-omong nonsens, tidak penting, yang saya dengarkan adalah seputar peringatan bahwa stasiun radio yang sedang saya dengarkan itu adalah "radio keluarga". Jadi tidak pantas untuk mengatakan kata-kata kotor, tidak sopan, atau “F words” saat siaran. Kendati demikian para komentator-entah-siapa-itu terus saja mengulang-ulang perkataan tak sopannya sebagai cemoohan. Pada saat itu biasanya seorang yang lain akan meyebut peringatan "radio keluarga" tadi, juga sebagai olok-olok. Kejadian ini berulang sejak saya mulai mendengarkan radio itu, sampai acara nyaris berakhir.
Contoh omong kosong lainnya adalah ketika mereka mengomentari lagu Rocket Queen dari Appetite for Destruction yang menjadi salah satu favorit saya karena memiliki dua bagian lagu yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Setidaknya begitulah wujudnya saat diperkenalkan kepada publik ketika lagu ini akhirnya dirilis bersama album Appetite. Bagian kedua itu, ujar salah seorang komentator, “sangat catchy, easy listening,....” Informasi dari si komentator masih berlanjut ke penjelasan tentang sound effect erangan perempuan dalam lagu itu yang ternyata adalah asli adanya. Sayangnya penjelasan itu terhenti karena olok-olok tentang “radio keluarga” tadi muncul lagi.
Mengenai “sangat catchy, easy listening,...” tentu kita sepakat. Tapi jujur, bila kita mau mendengar versi demo lagu itu (bersama versi demo November Rain yang outronya masih dimainkan seperti musik pengiring tarian anak-anak itu), mungkin kita sama-sama bersepakat untuk mengacungkan jempol buat Mike Clink yang secara luar biasa mengubah sound standar demo itu menjadi “catchy” seperti yang bisa kita nikmati saat ini.
Dan mengenai Rocket Queen, wiki jelas punya informasi yang lebih lengkap ketimbang “pelawak-pelawak” di radio malam itu—yang enteng saja mengabaikan komentar seorang penelepon hanya karena dia hendak mengutarakan salah satu joke-nya tentang KNPI. Atau, konyolnya lagi ada “adlips” tentang Izzi Pizza yang dikait-kaitkan dengan nama Izzy Stradlin. Atau lagi, mendadak ramai berkomentar ketika mengolok-olok nama peserta band yang ikut festival Metal Madness di Bulungan nanti. Salah satu komentator itu bahkan menirukan suara vokal penyanyi band hardcore dengan cara mencemooh. Tidak masuk akal, olok-olok ala remaja ingusan baru masuk masa akil balig itu disajikan di radio! Dan kualitas ingusan itu terasa benar ketika para komentator itu hanya mampu menjelaskan, kepada seorang pendengar yang bertanya melalui SMS, bahwa lagu Don’t Cry adalah lagu cinta!
Tentu para komentator itu seharusnya tahu bahwa ada biaya untuk airtime yang tidak murah. Atau minimal ada biaya untuk listrik si stasiun radio yang juga tidak murah. Atau lagi, tentunya mereka juga sadar bahwa pendengar tidak perlu membuang-buang waktu terlalu banyak hanya untuk menyimak aksi anarkis komentator musik rock—yang jujur saya anggap tidak punya banyak pengetahuan tentang topik yang mereka bicarakan saat itu di radio, sebagai media massa, media publik (mungkin seharusnya mereka belajar menulis di blog saja dulu, dengan tulisan besar-besar dan dicetak tebal di bagian banner: “BELAJAR”).
Jadi, buat saya, secara rata-rata momen selama satu jam itu (terhitung sejak saya mulai meminjam radio sampai saya mengembalikannya lagi kepada bapak-bapak sekuriti) adalah momen paling memalukan ketika orang-orang itu secara terang-terangan merendahkan derajat komentator musik rock sekaligus melecehkan kehormatan yang diwariskan oleh Lester Bangs kepada jurnalis musik rock.
Semoga tuhan mengampuni dosa kalian.
Dan sekarang saatnya saya turun kembali ke dunia nyata... (puwassssh)
tribut buat iman is
kemaren sore iman (kependekan dari imanez kekekekkkk) protes soal dekadensi musik rock indonesia (tsah dekadensi). tanpa pake ketok2 pintu iman masuk ruangan, ssset langsung protes.
musik rock indonesia dah mampus!
ha?
ha... he... ha... he... aje lu
he?
hehehe t..k. gila, masak gak ada yang ngerock lagi? pada cengeng2
ada
apa?
avenged sevenfold
ha? apaan tu
ini
...
ini bule? (kepala iman ajeb2)
iya
yeee rock indonesia dul... eh judulnya apa?
bet kantreee
(kepala kita ajeb2)
nah masih ada yang ribut2 soal rock indonesia?
go ahead, we dont give a f..k!
kemaren sore iman (kependekan dari imanez kekekekkkk) protes soal dekadensi musik rock indonesia (tsah dekadensi). tanpa pake ketok2 pintu iman masuk ruangan, ssset langsung protes.
musik rock indonesia dah mampus!
ha?
ha... he... ha... he... aje lu
he?
hehehe t..k. gila, masak gak ada yang ngerock lagi? pada cengeng2
ada
apa?
avenged sevenfold
ha? apaan tu
ini
...
ini bule? (kepala iman ajeb2)
iya
yeee rock indonesia dul... eh judulnya apa?
bet kantreee
(kepala kita ajeb2)
nah masih ada yang ribut2 soal rock indonesia?
go ahead, we dont give a f..k!
aim in lef
biarpun rada telat...
kalo naksir emang mesti ngaku
avenged sevenfold yang belia emang cantik
seminggu ini, setelah ditahan-tahan...
aim in lef
video ada di sini
biarpun rada telat...
kalo naksir emang mesti ngaku
avenged sevenfold yang belia emang cantik
seminggu ini, setelah ditahan-tahan...
aim in lef
video ada di sini
panduan memahami kopi dan kami
I love coffee
I love tea
I love the java jive and it loves me
Coffee and tea... and the java and me
A cup... a cup... a cup... a cup... a cup...
Boy!
Jam 7.00
Bangun! Jam 7 sekarang. Buruan! BOY!
Anita membuka tirai lebar-lebar. Pagi menyeruak masuk.
Di atas dipan Boy menggeliat sekali lagi. Ia menarik selimut. Dan hap, dia balik badan menjauhi matahari. Lep, kepalanya menyusup ke balik selimut.
Ah, bodo!
Anita meninggalkannya sendirian di ranjang. Tapi suaranya tinggal di situ.
Pokoknya gw udah bangunin, mo molor terus sampe siang... terserah!
8.30
Boy melirik jam di meja sebelah ranjang.
Anjrit!
Sset... bergegas dia bangkit. Sambil berdiri dia menengok ranjangnya. Berantakan. Malam itu seisi kamar ada di atas ranjang. Monitor notebook masih menyala. “Buat Ardian yang Pengin Bikin Kompilasi,” kata kalimat di monitor.
8.42
Ssssh... uap masih mengepul di bibir teko. Boy mengembalikannya ke tatakan coffeemaker, kasar. Di meja dapur Anita sudah rapi, meski masih mengenakan pakaian yang semalam. Ia masih membaca berita semalam di koran saat Boy menghirup kopi dan menyalakan TV.
Dateng jam brapa semalem?
Jam 2an.
Gak tidur?
Kamu ngorok gitu gimana gw tidur?
Ya ngorok juga dong, biar gak kedengeran.
...
Trus ngapain semaleman? Ngintipin gw tidur? Atau jangan-jangan...
Apa siiiy? Eh tadi pas kamu mandi Ardian telpon. Dia bilang dia datang agak siang. Jadi kamu duluan aja ngedit. Entar pas online dia yang lanjutin.
Ha? Enak bener tu kodok. Sialan. Lagian siapa suruh angkat-angkat telpon sih? Cuman dia yang nelpon kalo pagi-pagi gini.
Dia nelpon ke rumah tauk. Mana gw tau itu dia. Kali aja mama kamu yang nelpon, kangen. Hehehe.
Geblek. Emak gw doyannya SMS. SMS-nya juga pasti gitu. “D-M-N M-A-S? S-H-T 2 K-A-N? G-B-U”. Trus biasanya gw bales. “kantor,sehat,ma.gb U2”.
Ha?
Iya, gb UB40 2
Hahahaha.
...
Hei, Boy. Gw kangen ngobrol pagi-pagi ama kamu.
The coffee or the conversation? Hehehe
Hahaha Saint Caffeine...? Gw tau lagu itu.
Ya, bless whom... errr... worship thee... cup of coffee
Hahaha
11.30
From: A Nita
“Lunch bareng ya, Boy”
11.32
From: A Nita
“Ok, jam 1. Gw tunggu ya Boy.
11.38
From: A Nita
“Boy, sibuk gak? Telp kamu boleh?
11.39
From: Kantor Ardian
“Boy, dah kelar offline? Lo tlg trusin online ya. Gw kabur ke luar kota. Lo tau kenapa. Thx bro”
1.35
From: A Nita
“Boy, di mana?”
2.20
From: A Nita
“Boy, gw ke rumah ntar mlm”
2.55
From: A Nita
“Boy, please call me”
3.00
From: Boy
“Gw di Vipuj skrg. Mo mampir? Ada kopi, senwits, and me : )”
4.20
Pesen apa, Nit?
Gak ada kopi biasa ya? Beralkohol semua.
Ada. Black coffee, coffee stain. Atau kalo doyan dangdut ada coffee rhumba tu. Hehehe.
OK gw coffee rhumba.
Hahaha.
Boy, gw pengin cerita sesuatu. Tapi gak di sini. Kita jalan aja, ya. Mau, ya? Please...
Sore itu segala sesuatu bergerak. Tapi di jalan kecil itu hanya saya dan Anita. Tidak ada yang terlalu penting untuk didengarkan, apalagi disimak. Dia bercerita panjang. Mungkin karena hatinya galau atau entahlah. Tangannya di menggenggam tangan saya sepanjang jalan itu. Kami berjalan lama. Sebenarnya hanya itu yang terpenting. Saya biarkan ia membawa kami entah ke mana. Saya tahu masalahnya dan saya tahu pemecahannya. Tapi bukan itu yang terpenting. Sore itu kami berjalan bersama. Saya tidak peduli kalau di jalan yang ramai itu tidak ada sesuatu pun yang bergerak. Di bangku taman kami berhenti. Dia bicara. Dan saya mendengar suara angin ketika mobil-mobil lewat, orang-orang berlalu, dan gerak bibirnya.
Gw gak pernah ngerti dia, Boy. Dia selalu bikin hal gampang jadi lebih sulit. Semua orang cuman bisa bilang, “Ardian memang susah dipahami.” Tapi gak ada yang bisa bantu gw. Gw benci mereka semua, tapi gw gak bisa lepas dari dia. Kamu kan tau kenapa.
Di bangku itu saya duduk dengan tangannya di pangkuan.
3.00
Ssssh... teko itu mendesis lagi. Secangkir kopi untuk malam ini. Di sofa Anita tidur pulas. Sayang, A Nita, kamu tidak pernah tahu A itu untuk yang pertama.
your breath is sweet
your eyes are like jewels in the sky
your back is straight, your hair is smooth
on the pillow where you lie
but I don’t sense affection
no gratitude or love
your loyalty is not to me
but to the stars above
one more cup of coffee for the road
one more cup of coffee ‘fore I go
(to the valley below)
coffeemak'er
java jive-manhattan transfer
coffee and TV-blur
coffee and conversation-joni mitchell
saint caffeine-john gorka
a cup of coffee, sandwich, and you-barbershop quartet
black coffee-peggy lee
coffee stain-sarah harmer
coffee rhumba-the peanuts
coffee in the morning and kisses in the night-the boswell sisters
one more cup of coffee (valley below)-bob dylan
I love coffee
I love tea
I love the java jive and it loves me
Coffee and tea... and the java and me
A cup... a cup... a cup... a cup... a cup...
Boy!
Jam 7.00
Bangun! Jam 7 sekarang. Buruan! BOY!
Anita membuka tirai lebar-lebar. Pagi menyeruak masuk.
Di atas dipan Boy menggeliat sekali lagi. Ia menarik selimut. Dan hap, dia balik badan menjauhi matahari. Lep, kepalanya menyusup ke balik selimut.
Ah, bodo!
Anita meninggalkannya sendirian di ranjang. Tapi suaranya tinggal di situ.
Pokoknya gw udah bangunin, mo molor terus sampe siang... terserah!
8.30
Boy melirik jam di meja sebelah ranjang.
Anjrit!
Sset... bergegas dia bangkit. Sambil berdiri dia menengok ranjangnya. Berantakan. Malam itu seisi kamar ada di atas ranjang. Monitor notebook masih menyala. “Buat Ardian yang Pengin Bikin Kompilasi,” kata kalimat di monitor.
8.42
Ssssh... uap masih mengepul di bibir teko. Boy mengembalikannya ke tatakan coffeemaker, kasar. Di meja dapur Anita sudah rapi, meski masih mengenakan pakaian yang semalam. Ia masih membaca berita semalam di koran saat Boy menghirup kopi dan menyalakan TV.
Dateng jam brapa semalem?
Jam 2an.
Gak tidur?
Kamu ngorok gitu gimana gw tidur?
Ya ngorok juga dong, biar gak kedengeran.
...
Trus ngapain semaleman? Ngintipin gw tidur? Atau jangan-jangan...
Apa siiiy? Eh tadi pas kamu mandi Ardian telpon. Dia bilang dia datang agak siang. Jadi kamu duluan aja ngedit. Entar pas online dia yang lanjutin.
Ha? Enak bener tu kodok. Sialan. Lagian siapa suruh angkat-angkat telpon sih? Cuman dia yang nelpon kalo pagi-pagi gini.
Dia nelpon ke rumah tauk. Mana gw tau itu dia. Kali aja mama kamu yang nelpon, kangen. Hehehe.
Geblek. Emak gw doyannya SMS. SMS-nya juga pasti gitu. “D-M-N M-A-S? S-H-T 2 K-A-N? G-B-U”. Trus biasanya gw bales. “kantor,sehat,ma.gb U2”.
Ha?
Iya, gb UB40 2
Hahahaha.
...
Hei, Boy. Gw kangen ngobrol pagi-pagi ama kamu.
The coffee or the conversation? Hehehe
Hahaha Saint Caffeine...? Gw tau lagu itu.
Ya, bless whom... errr... worship thee... cup of coffee
Hahaha
11.30
From: A Nita
“Lunch bareng ya, Boy”
11.32
From: A Nita
“Ok, jam 1. Gw tunggu ya Boy.
11.38
From: A Nita
“Boy, sibuk gak? Telp kamu boleh?
11.39
From: Kantor Ardian
“Boy, dah kelar offline? Lo tlg trusin online ya. Gw kabur ke luar kota. Lo tau kenapa. Thx bro”
1.35
From: A Nita
“Boy, di mana?”
2.20
From: A Nita
“Boy, gw ke rumah ntar mlm”
2.55
From: A Nita
“Boy, please call me”
3.00
From: Boy
“Gw di Vipuj skrg. Mo mampir? Ada kopi, senwits, and me : )”
4.20
Pesen apa, Nit?
Gak ada kopi biasa ya? Beralkohol semua.
Ada. Black coffee, coffee stain. Atau kalo doyan dangdut ada coffee rhumba tu. Hehehe.
OK gw coffee rhumba.
Hahaha.
Boy, gw pengin cerita sesuatu. Tapi gak di sini. Kita jalan aja, ya. Mau, ya? Please...
Sore itu segala sesuatu bergerak. Tapi di jalan kecil itu hanya saya dan Anita. Tidak ada yang terlalu penting untuk didengarkan, apalagi disimak. Dia bercerita panjang. Mungkin karena hatinya galau atau entahlah. Tangannya di menggenggam tangan saya sepanjang jalan itu. Kami berjalan lama. Sebenarnya hanya itu yang terpenting. Saya biarkan ia membawa kami entah ke mana. Saya tahu masalahnya dan saya tahu pemecahannya. Tapi bukan itu yang terpenting. Sore itu kami berjalan bersama. Saya tidak peduli kalau di jalan yang ramai itu tidak ada sesuatu pun yang bergerak. Di bangku taman kami berhenti. Dia bicara. Dan saya mendengar suara angin ketika mobil-mobil lewat, orang-orang berlalu, dan gerak bibirnya.
Gw gak pernah ngerti dia, Boy. Dia selalu bikin hal gampang jadi lebih sulit. Semua orang cuman bisa bilang, “Ardian memang susah dipahami.” Tapi gak ada yang bisa bantu gw. Gw benci mereka semua, tapi gw gak bisa lepas dari dia. Kamu kan tau kenapa.
Di bangku itu saya duduk dengan tangannya di pangkuan.
3.00
Ssssh... teko itu mendesis lagi. Secangkir kopi untuk malam ini. Di sofa Anita tidur pulas. Sayang, A Nita, kamu tidak pernah tahu A itu untuk yang pertama.
your breath is sweet
your eyes are like jewels in the sky
your back is straight, your hair is smooth
on the pillow where you lie
but I don’t sense affection
no gratitude or love
your loyalty is not to me
but to the stars above
one more cup of coffee for the road
one more cup of coffee ‘fore I go
(to the valley below)
coffeemak'er
java jive-manhattan transfer
coffee and TV-blur
coffee and conversation-joni mitchell
saint caffeine-john gorka
a cup of coffee, sandwich, and you-barbershop quartet
black coffee-peggy lee
coffee stain-sarah harmer
coffee rhumba-the peanuts
coffee in the morning and kisses in the night-the boswell sisters
one more cup of coffee (valley below)-bob dylan
Lil miss sunshine
Keluarga Hoover sudah pasti bukan keluarga idaman, sakinah, atau apa pun yang ideal. Keluarga Hoover adalah Richard yang memilih menang sebagai tuhan dan pecundang sebagai sesuatu yang tidak suci tapi toh tidak dapat menahan diri melakukan hal-hal bodoh; Sheryl, ibu yang tidak tenang, mandiri, dan menyimpan kebiasaan merokok; Dwayne, adalah gambaran tipikal remaja yang sering kali ditampilkan di TV secara berlebihan sebagai makhluk yang terlalu keras berusaha mencari jati diri; dan Olive, si bungsu yang menolak menjadi pecundang seperti ayahnya tapi banyak belajar dari sang kakek.
Adalah Olive, anak 7 tahun, yang oleh dorongan orang tuanya menjadi semakin bersemangat mengikuti kontes bakat di California sana. Sebuah rencana perjalanan sejauh 800 mil digelar. Semua yang ada di rumah diajak. Selain keluarga inti, turut serta Frank, kakak Sheryl, yang terpaksa diamankan di rumah mereka setelah gagal bunuh diri karena terbakar cemburu oleh pasangan homonya; dan Edwin, ayah Richard, yang masih harus menjadi junkie dan bermulut cabul di masa tua.
Perjalanan itu adalah hiburan utama di film ini. Banyak hal terjadi antara Albuquerque dan Pantai Redondo. Banyak pelajaran tentang saling mendukung. Sepanjang film ini kita akan selalu tertawa. Satu hal yang saya yakini sangat ingin ditampilkan sutradara pasutri Jonathan Dayton dan Valerie Faris bukan sebagai kekonyolan belaka.
Kekuatannya adalah pada skrip yang riang, seadanya, tapi mengejutkan. Seperti saat Edwin menasihati cucunya di dalam VW kuning itu. Little Miss Sunshine benar-benar menjadi Little Miss Sunshine (satu karakter buku anak yang kebetulan menggunakan nama yang sama) yang mengubah Miseryland menjadi Laughterland.
Tapi selain dialog yang cerdas dan menghibur, kita juga terpaksa terganggu oleh kekonyolan Richard. Yup, adegan ketika polisi itu menghentikan perjalanan mereka. Diselamatkan oleh buku porno? Oooh plis deh.
Lalu ada lagi. Seperti yang kita duga mereka terlambat sampai ke meja pendaftaran. Olive kecil tidak diperbolehkan mendaftar meski pada akhirnya ia diizinkan atas bantuan seorang panitia. Belum separah adegan polisi tentunya. Tapi okelah.
Kisah tentang sepak terjang film ini di Sundance Film Festival bermula setelah itu. Tidak perlu ada penjelasan panjang di sini. Karena saya tidak ingin merusak kejutan yang dibuat dengan susah payah oleh si pembuat film dan kenikmatan Anda menonton.
Menurut Richard, pecundang biasanya menyerah karena ketidakberdayaannya untuk melawan. Tapi dalam film ini, para “pecundang” tidak menyerah walaupun toh pada akhirnya Olive kecil naik ke atas panggung. Dwayne sudah mewanti-wanti, “I don’t wanna these people to judge Olive. Fuck them! Everyone gonna laugh at her.” Dan benar saja, kita juga tertawa. Chicago Sun-Times bilang, “The funniest laugh-out-loud audience pleaser at the Sundance Film Festival.”
Satu hal yang perlu dicatat adalah saat lidah Anda tercekat saat pertama kali melihat aksi Olive kecil di atas panggung, itulah reaksi paling jujur. Karena pada dasarnya kita memang menolak hal-hal semacam itu. Tapi reaksi kedua yakni menertawakannya, itu juga wajar. Karena memang banyak hal konyol yang sering dilakukan anak usia 7 tahun, meski sejujurnya kita tahu dia hanya meniru orang-orang di sekitarnya. Jadi, monggo lho... (you do what you love and fuck the rest, dan kita tidak pernah bisa menjadi pecundang).
Keluarga Hoover sudah pasti bukan keluarga idaman, sakinah, atau apa pun yang ideal. Keluarga Hoover adalah Richard yang memilih menang sebagai tuhan dan pecundang sebagai sesuatu yang tidak suci tapi toh tidak dapat menahan diri melakukan hal-hal bodoh; Sheryl, ibu yang tidak tenang, mandiri, dan menyimpan kebiasaan merokok; Dwayne, adalah gambaran tipikal remaja yang sering kali ditampilkan di TV secara berlebihan sebagai makhluk yang terlalu keras berusaha mencari jati diri; dan Olive, si bungsu yang menolak menjadi pecundang seperti ayahnya tapi banyak belajar dari sang kakek.
Adalah Olive, anak 7 tahun, yang oleh dorongan orang tuanya menjadi semakin bersemangat mengikuti kontes bakat di California sana. Sebuah rencana perjalanan sejauh 800 mil digelar. Semua yang ada di rumah diajak. Selain keluarga inti, turut serta Frank, kakak Sheryl, yang terpaksa diamankan di rumah mereka setelah gagal bunuh diri karena terbakar cemburu oleh pasangan homonya; dan Edwin, ayah Richard, yang masih harus menjadi junkie dan bermulut cabul di masa tua.
Perjalanan itu adalah hiburan utama di film ini. Banyak hal terjadi antara Albuquerque dan Pantai Redondo. Banyak pelajaran tentang saling mendukung. Sepanjang film ini kita akan selalu tertawa. Satu hal yang saya yakini sangat ingin ditampilkan sutradara pasutri Jonathan Dayton dan Valerie Faris bukan sebagai kekonyolan belaka.
Kekuatannya adalah pada skrip yang riang, seadanya, tapi mengejutkan. Seperti saat Edwin menasihati cucunya di dalam VW kuning itu. Little Miss Sunshine benar-benar menjadi Little Miss Sunshine (satu karakter buku anak yang kebetulan menggunakan nama yang sama) yang mengubah Miseryland menjadi Laughterland.
Tapi selain dialog yang cerdas dan menghibur, kita juga terpaksa terganggu oleh kekonyolan Richard. Yup, adegan ketika polisi itu menghentikan perjalanan mereka. Diselamatkan oleh buku porno? Oooh plis deh.
Lalu ada lagi. Seperti yang kita duga mereka terlambat sampai ke meja pendaftaran. Olive kecil tidak diperbolehkan mendaftar meski pada akhirnya ia diizinkan atas bantuan seorang panitia. Belum separah adegan polisi tentunya. Tapi okelah.
Kisah tentang sepak terjang film ini di Sundance Film Festival bermula setelah itu. Tidak perlu ada penjelasan panjang di sini. Karena saya tidak ingin merusak kejutan yang dibuat dengan susah payah oleh si pembuat film dan kenikmatan Anda menonton.
Menurut Richard, pecundang biasanya menyerah karena ketidakberdayaannya untuk melawan. Tapi dalam film ini, para “pecundang” tidak menyerah walaupun toh pada akhirnya Olive kecil naik ke atas panggung. Dwayne sudah mewanti-wanti, “I don’t wanna these people to judge Olive. Fuck them! Everyone gonna laugh at her.” Dan benar saja, kita juga tertawa. Chicago Sun-Times bilang, “The funniest laugh-out-loud audience pleaser at the Sundance Film Festival.”
Satu hal yang perlu dicatat adalah saat lidah Anda tercekat saat pertama kali melihat aksi Olive kecil di atas panggung, itulah reaksi paling jujur. Karena pada dasarnya kita memang menolak hal-hal semacam itu. Tapi reaksi kedua yakni menertawakannya, itu juga wajar. Karena memang banyak hal konyol yang sering dilakukan anak usia 7 tahun, meski sejujurnya kita tahu dia hanya meniru orang-orang di sekitarnya. Jadi, monggo lho... (you do what you love and fuck the rest, dan kita tidak pernah bisa menjadi pecundang).
GF III
Tentu tidak semua cerita harus dibuat cantik nan megah seperti Godfather Bagian Pertama dan Kedua karena tidak semua sutradara punya talenta dan misi yang sama layaknya Coppola muda.
“Never let anyone know what you’re thinking.” Sebuah amanat dari kepala mafia, mobster, la cosa nostra, atau lumrahnya di cerita ini disebut kepala keluarga. Tapi Santino yang ngeyel, gegabah, dan pemarah memilih mengabaikannya. Di ambang pintu tol itu ia dihujani peluru, mayatnya diludahi, dan ditendang.
Sebuah ambisi dan nafsu ekspansi bisnis Michael mengantar maut kepada Moe Greene, seorang pengusaha besar di Las Vegas. Sebutir peluru jatuh persis di antara matanya. “It’s not personal. It’s just business,” kata Hyman Roth, Yahudi tua, teman dekat Moe, kepada Michael.
Pada Bagian Pertama dan Kedua, Michael dan kita banyak belajar memahami Vito yang lembut, tetapi mampu memboya perut pembantai keluarganya dengan belati. Yang keras, tapi bersikukuh memaksa seorang ahli bedah untuk membersihkan ratusan lobang peluru di tubuh Santino hanya agar sang istri bisa melihat mayat anaknya.
Tapi pada Bagian Ketiga yang dibuat berselang 16 tahun setelah Bagian Kedua, Coppola menampilkan Michael dewasa dengan konflik sederhana (meskipun disuguhkan dengan setting yang sangat internasional: ada ekspansi bisnis ke Eropa, menguasai Immobiliare, sebuah perusahaan terhormat di daratan Eropa yang dikendalikan dari Vatikan). Michael tidak lagi menggebu-gebu mengobral nafsu meluaskan kerajaannya di Vegas, melobi senator dan petinggi-petinggi di Kuba, memburu dan membunuh Hyman, serta menunjukkan taringnya kepada Fredo, sang kakak, dan Kay, istrinya.
Intrik sederhana dengan porsi seperlunya muncul antara Michael dan Don Altobello, dan diakhiri dengan sederhana pula: Vincenzo menyusup ke kubu Altobello dan pulang dengan selamat setelah menyuplai cukup informasi bagi Michael. Kita semua tentu masih ingat di Bagian Pertama Luca Brasi pernah dikirim Vito ke kubu Tataglia, juga sebagai pengkhianat dan gagal. Saat itu kita barangkali teperenyak, kaget, karena karakter Luca yang dibangun di atas cerita Michael kepada Kay tentang seorang pemimpin band, membuat kita serta-merta percaya Luca adalah centeng yang tangguh.
“Hello, Michael. It’s Kay.” Seorang kekasih, istri, ibu, seorang sahabat, yang selalu mencintai Michael dengan caranya sendiri. Kay yang selalu cantik di setiap episode, yang berpikir, dan insyaf tidak akan lagi memberikan keturunan kepada Michael. Sebuah aborsi untuk hidup “yang jahat dan tidak suci”. Kay yang tetap menjadi bagian hidup Michael. Mereka menikah setelah Michael meninggalkannya tanpa kabar selama tiga tahun dalam pelarian, dan Kay mengunjungi Michael di rumah sakit setelah mereka bercerai. Tidak ada kilas balik penuh amarah dan dendam tentang hubungan mereka di Bagian Kedua. Meskipun kita semua ingat bagaimana wajah Kay yang gentar, yang sendiri dalam ketakutannya ketika di ambang lawang Michael menutup pintu itu pelan tanpa kata-kata sambil membuang muka, penolakan terhadap kehadirannya.
Tapi Bagian Ketiga menawarkan lain. Ia perlu sebuah penjelasan verbal sebagai kilas balik, “I did what I could, Kay, to protect all of you from the horrors of this world,” kata Michael. “But you became my horror.” Instan, seperti polaroid. Sebuah panduan yang arif bagi penonton yang tidak sempat melihat episode-episode sebelumnya.
Di episode, yang memilih ciptaan Carmine Coppola sebagai lagu tema—dalam kurung—alih-alih gubahan Nino Rota, ini kita akan menemukan nostalgia. Sebuah reuni tanpa karakter Thomas Hagen, sang pengacara (yang jujur ingin sekali saya lihat perannya pada episode ini setelah agak “tersingkir” oleh dominasi Michael di Bagian Kedua). Sayang, karakter J.B. Hamilton memupuskan harapan itu. Sebagai “orang luar”, J.B. hanya bertugas mengulangi kata-kata Michael dan menyerahkan kontrak untuk ditandatangani.
Memahami Bagian Ketiga adalah memahami Don Altobello yang letih, “Michael, I’ve lost all the venom, all the juice of youth. I’ve lost the lust for women, and now my mind is clear.” Maka kita bisa menerima dengan tulus bila pada episode ini Michael pun hanya menjadi ayah yang ingin mencintai Mary, seperti sang sutradara dan Sofia.
Kepada Vincenzo, Michael berkata, “When they come, they’ll come at what you love.” Peringatan dini, agar awas akan marabahaya. Saat itu Vincenzo mengangguk. Dua buah ancangan pembunuhan terhadap enam orang dari dua kubu berbeda dibuat. Yang pertama adalah pembunuhan Don Luchessi, Don Altobello, Frederick Keinszig, dan Archbishop Gilday. Yang kedua adalah pembunuhan Michael dan Paus baru.
Lima orang dalam daftar, mati terbunuh malam itu. Don Luchessi tewas ditikam dengan kacamatanya sendiri. Don Altobello mati karena racun dalam cannoli. Keinszig kehabisan napas saat dibekap di atas tempat tidurnya. Archbishop tewas ditembak. Dan Paus baru itu tidur panjang seusai menyeruput teh hangat. Semua tumpas malam itu.
Tidak ada yang menangisi mereka. Hanya seorang suster yang meratap kepergian Sri Paus. Dan Michael yang meratap dan meraung untuk kematian Mary, sang putri yang sangat mencintainya dan dicintainya di muka gedung opera (Sofia Coppola berhasil membuat Mary sangat mudah dicintai siapa pun, “an offer you can’t refuse”—walaupun kebanyakan komentar tidak sepakat).
Saat itulah kita semua sadar, inilah satu-satunya kematian dalam trilogi Godfather yang dibuat Coppola spesial hanya untuk menguras air mata.
Tentu tidak semua cerita harus dibuat cantik nan megah seperti Godfather Bagian Pertama dan Kedua karena tidak semua sutradara punya talenta dan misi yang sama layaknya Coppola muda.
“Never let anyone know what you’re thinking.” Sebuah amanat dari kepala mafia, mobster, la cosa nostra, atau lumrahnya di cerita ini disebut kepala keluarga. Tapi Santino yang ngeyel, gegabah, dan pemarah memilih mengabaikannya. Di ambang pintu tol itu ia dihujani peluru, mayatnya diludahi, dan ditendang.
Sebuah ambisi dan nafsu ekspansi bisnis Michael mengantar maut kepada Moe Greene, seorang pengusaha besar di Las Vegas. Sebutir peluru jatuh persis di antara matanya. “It’s not personal. It’s just business,” kata Hyman Roth, Yahudi tua, teman dekat Moe, kepada Michael.
Pada Bagian Pertama dan Kedua, Michael dan kita banyak belajar memahami Vito yang lembut, tetapi mampu memboya perut pembantai keluarganya dengan belati. Yang keras, tapi bersikukuh memaksa seorang ahli bedah untuk membersihkan ratusan lobang peluru di tubuh Santino hanya agar sang istri bisa melihat mayat anaknya.
Tapi pada Bagian Ketiga yang dibuat berselang 16 tahun setelah Bagian Kedua, Coppola menampilkan Michael dewasa dengan konflik sederhana (meskipun disuguhkan dengan setting yang sangat internasional: ada ekspansi bisnis ke Eropa, menguasai Immobiliare, sebuah perusahaan terhormat di daratan Eropa yang dikendalikan dari Vatikan). Michael tidak lagi menggebu-gebu mengobral nafsu meluaskan kerajaannya di Vegas, melobi senator dan petinggi-petinggi di Kuba, memburu dan membunuh Hyman, serta menunjukkan taringnya kepada Fredo, sang kakak, dan Kay, istrinya.
Intrik sederhana dengan porsi seperlunya muncul antara Michael dan Don Altobello, dan diakhiri dengan sederhana pula: Vincenzo menyusup ke kubu Altobello dan pulang dengan selamat setelah menyuplai cukup informasi bagi Michael. Kita semua tentu masih ingat di Bagian Pertama Luca Brasi pernah dikirim Vito ke kubu Tataglia, juga sebagai pengkhianat dan gagal. Saat itu kita barangkali teperenyak, kaget, karena karakter Luca yang dibangun di atas cerita Michael kepada Kay tentang seorang pemimpin band, membuat kita serta-merta percaya Luca adalah centeng yang tangguh.
“Hello, Michael. It’s Kay.” Seorang kekasih, istri, ibu, seorang sahabat, yang selalu mencintai Michael dengan caranya sendiri. Kay yang selalu cantik di setiap episode, yang berpikir, dan insyaf tidak akan lagi memberikan keturunan kepada Michael. Sebuah aborsi untuk hidup “yang jahat dan tidak suci”. Kay yang tetap menjadi bagian hidup Michael. Mereka menikah setelah Michael meninggalkannya tanpa kabar selama tiga tahun dalam pelarian, dan Kay mengunjungi Michael di rumah sakit setelah mereka bercerai. Tidak ada kilas balik penuh amarah dan dendam tentang hubungan mereka di Bagian Kedua. Meskipun kita semua ingat bagaimana wajah Kay yang gentar, yang sendiri dalam ketakutannya ketika di ambang lawang Michael menutup pintu itu pelan tanpa kata-kata sambil membuang muka, penolakan terhadap kehadirannya.
Tapi Bagian Ketiga menawarkan lain. Ia perlu sebuah penjelasan verbal sebagai kilas balik, “I did what I could, Kay, to protect all of you from the horrors of this world,” kata Michael. “But you became my horror.” Instan, seperti polaroid. Sebuah panduan yang arif bagi penonton yang tidak sempat melihat episode-episode sebelumnya.
Di episode, yang memilih ciptaan Carmine Coppola sebagai lagu tema—dalam kurung—alih-alih gubahan Nino Rota, ini kita akan menemukan nostalgia. Sebuah reuni tanpa karakter Thomas Hagen, sang pengacara (yang jujur ingin sekali saya lihat perannya pada episode ini setelah agak “tersingkir” oleh dominasi Michael di Bagian Kedua). Sayang, karakter J.B. Hamilton memupuskan harapan itu. Sebagai “orang luar”, J.B. hanya bertugas mengulangi kata-kata Michael dan menyerahkan kontrak untuk ditandatangani.
Memahami Bagian Ketiga adalah memahami Don Altobello yang letih, “Michael, I’ve lost all the venom, all the juice of youth. I’ve lost the lust for women, and now my mind is clear.” Maka kita bisa menerima dengan tulus bila pada episode ini Michael pun hanya menjadi ayah yang ingin mencintai Mary, seperti sang sutradara dan Sofia.
Kepada Vincenzo, Michael berkata, “When they come, they’ll come at what you love.” Peringatan dini, agar awas akan marabahaya. Saat itu Vincenzo mengangguk. Dua buah ancangan pembunuhan terhadap enam orang dari dua kubu berbeda dibuat. Yang pertama adalah pembunuhan Don Luchessi, Don Altobello, Frederick Keinszig, dan Archbishop Gilday. Yang kedua adalah pembunuhan Michael dan Paus baru.
Lima orang dalam daftar, mati terbunuh malam itu. Don Luchessi tewas ditikam dengan kacamatanya sendiri. Don Altobello mati karena racun dalam cannoli. Keinszig kehabisan napas saat dibekap di atas tempat tidurnya. Archbishop tewas ditembak. Dan Paus baru itu tidur panjang seusai menyeruput teh hangat. Semua tumpas malam itu.
Tidak ada yang menangisi mereka. Hanya seorang suster yang meratap kepergian Sri Paus. Dan Michael yang meratap dan meraung untuk kematian Mary, sang putri yang sangat mencintainya dan dicintainya di muka gedung opera (Sofia Coppola berhasil membuat Mary sangat mudah dicintai siapa pun, “an offer you can’t refuse”—walaupun kebanyakan komentar tidak sepakat).
Saat itulah kita semua sadar, inilah satu-satunya kematian dalam trilogi Godfather yang dibuat Coppola spesial hanya untuk menguras air mata.
Kemewahan Kudus
Pernah suatu ketika saya bersama sejumlah teman kerja ditugaskan ke Kudus, Jawa Tengah. Kota kecil yang biasa-biasa saja tapi sudah sangat saya kenal dan akrabi sejak kecil hanya karena tulisan kecil di bungkus rokok.
Selesai bertugas kami berkeliling kota sembari mencari tempat untuk makan malam. Sampailah kami di Kawasan Simpang Tujuh yang terletak di tengah kota. Sesuai dengan namanya ada tujuh jalan yang bertemu di kawasan itu yang kemudian membentuk bundaran seluas lapangan sepak bola di tengah-tengah. Di salah satu sisinya berdiri tegak sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota itu yang tak seberapa besar dibandingkan Mal Depok tapi jauh lebih sepi. Tak jauh dari situ, di satu sudut, sebuah pusat jajanan, tempat makan yang kami cari-cari. Menu utamanya, tentu saja, soto Kudus. Sebuah jamuan Kudus, kata salah seorang teman.
Ada banyak komentar menarik malam itu. Salah satunya adalah komentar tentang orang-orang Kudus yang pasti masuk surga. Komentar tidak penting tapi menarik. Sama halnya dengan gadis Malang yang dikenal cantik-cantik tapi selalu apes. Sama-sama tidak penting. Atau perjaka dari Tulungagung yang... ah sudahlah.
Kembali ke komentar menarik di malam itu. Toh ada juga yang benar-benar menarik (suer!). Berbeda dengan pusat perbelanjaan yang sepi tadi, malam itu bundaran di tengah-tengah simpang tujuh dipenuhi warga. Sekilas terlihat biasa. Ada yang membawa anak kecil dan ada beberapa muda-mudi yang duduk berpasangan-pasangan. Tidak terlalu aneh. Tapi bila diamat-amati lagi, ada yang janggal di situ. Selain ada sejumlah orang yang datang sendirian, mereka yang datang berpasangan pun tidak berkata-kata. Mereka hanya duduk diam di situ, seperti menikmati pertunjukan jazz yang njelimet. Ada banyak pedagang minuman yang setia menemani mereka. Tapi toh tidak banyak yang jajan. Kebanyakan hanya duduk dan berdiam.
Sampai saya kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di kantor seperti biasa, kejanggalan itu tidak terjawab dan sudah terlupakan. Beberapa teman malah sempat menjadikan perilaku orang Kudus itu sebagai lelucon. Tapi malam ini, ketika saya menyimak penjelasan Bapak Danang Priatmodjo di Tempo tentang perlunya sebuah ruang publik yang gratis, yang tidak membeda-bedakan kelas, yang nyaman, yang tidak melarang sandal jepit, yang aman buat anak-anak, dan yang bisa melihat laut tanpa dihalangi hotel, kejanggalan itu terjawab. Itu wisata orang Kudus. Jauh dari kata konsumtif dan gosip. Tidak seperti ibu-ibu muda di Jakarta yang perlu Coffee Bean atau J.Co. untuk ngobrol ngalor-ngidul tentang tempat rental tas Louis Vuitton yang lagi marak. Dibandingkan dengan itu maka “surga lebih dekat dengan orang Kudus” bisa jadi bukan lelucon.
Btw ada enggak yang pernah kepikiran merasa punya hak untuk membawa bacaan dan segelas kopi dari rumah untuk nongkrong di alun-alun kota yang rindang tapi tetap merasa aman? Mudah-mudahan orang-orang Kudus masih bisa menikmati kemewahan itu.
Pernah suatu ketika saya bersama sejumlah teman kerja ditugaskan ke Kudus, Jawa Tengah. Kota kecil yang biasa-biasa saja tapi sudah sangat saya kenal dan akrabi sejak kecil hanya karena tulisan kecil di bungkus rokok.
Selesai bertugas kami berkeliling kota sembari mencari tempat untuk makan malam. Sampailah kami di Kawasan Simpang Tujuh yang terletak di tengah kota. Sesuai dengan namanya ada tujuh jalan yang bertemu di kawasan itu yang kemudian membentuk bundaran seluas lapangan sepak bola di tengah-tengah. Di salah satu sisinya berdiri tegak sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota itu yang tak seberapa besar dibandingkan Mal Depok tapi jauh lebih sepi. Tak jauh dari situ, di satu sudut, sebuah pusat jajanan, tempat makan yang kami cari-cari. Menu utamanya, tentu saja, soto Kudus. Sebuah jamuan Kudus, kata salah seorang teman.
Ada banyak komentar menarik malam itu. Salah satunya adalah komentar tentang orang-orang Kudus yang pasti masuk surga. Komentar tidak penting tapi menarik. Sama halnya dengan gadis Malang yang dikenal cantik-cantik tapi selalu apes. Sama-sama tidak penting. Atau perjaka dari Tulungagung yang... ah sudahlah.
Kembali ke komentar menarik di malam itu. Toh ada juga yang benar-benar menarik (suer!). Berbeda dengan pusat perbelanjaan yang sepi tadi, malam itu bundaran di tengah-tengah simpang tujuh dipenuhi warga. Sekilas terlihat biasa. Ada yang membawa anak kecil dan ada beberapa muda-mudi yang duduk berpasangan-pasangan. Tidak terlalu aneh. Tapi bila diamat-amati lagi, ada yang janggal di situ. Selain ada sejumlah orang yang datang sendirian, mereka yang datang berpasangan pun tidak berkata-kata. Mereka hanya duduk diam di situ, seperti menikmati pertunjukan jazz yang njelimet. Ada banyak pedagang minuman yang setia menemani mereka. Tapi toh tidak banyak yang jajan. Kebanyakan hanya duduk dan berdiam.
Sampai saya kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di kantor seperti biasa, kejanggalan itu tidak terjawab dan sudah terlupakan. Beberapa teman malah sempat menjadikan perilaku orang Kudus itu sebagai lelucon. Tapi malam ini, ketika saya menyimak penjelasan Bapak Danang Priatmodjo di Tempo tentang perlunya sebuah ruang publik yang gratis, yang tidak membeda-bedakan kelas, yang nyaman, yang tidak melarang sandal jepit, yang aman buat anak-anak, dan yang bisa melihat laut tanpa dihalangi hotel, kejanggalan itu terjawab. Itu wisata orang Kudus. Jauh dari kata konsumtif dan gosip. Tidak seperti ibu-ibu muda di Jakarta yang perlu Coffee Bean atau J.Co. untuk ngobrol ngalor-ngidul tentang tempat rental tas Louis Vuitton yang lagi marak. Dibandingkan dengan itu maka “surga lebih dekat dengan orang Kudus” bisa jadi bukan lelucon.
Btw ada enggak yang pernah kepikiran merasa punya hak untuk membawa bacaan dan segelas kopi dari rumah untuk nongkrong di alun-alun kota yang rindang tapi tetap merasa aman? Mudah-mudahan orang-orang Kudus masih bisa menikmati kemewahan itu.
Hari Kacang
Reuni keluarga adalah masa-masa penuh kenangan dan kacang. Saat semua anggota keluarga berkumpul yang ada biasanya adalah kue-kue, pinggan penuh lauk, stoples kacang di pojokan, sirup marjan, gosip segar, dan keponakan. Bila elemen-elemen itu digabungkan maka reuni itu akan menjadi obrolan tanpa titik koma seputar mendiang Alda, Melky, dan Adi ditilik dari sudut pandang 360 derajat bersama suara sendok, suara kacang remuk, dan omelan Mbak Ine ketika Sammy menumpahkan segelas sirup marjan. Bila ada yang ingin belajar sulap, itulah saat yang paling tepat untuk menyeruput kacang dalam stoples segenggam penuh tanpa seorang pun pernah menyadarinya. Anda boleh coba praktekkan cara itu sekali waktu.
Kendati demikian, reuni keluarga adalah masa-masa yang juga penuh ampunan karena dalam sekejap seorang mbak-mbak akan dengan seketika mencuri perhatian khalayak sekaligus menyelamatkan harga diri Sammy, sang keponakan, dari rasa bersalah dan rentetan omelan mamanya dengan pertanyaan, “Wah, Sammy udah besar ya. Kelas berapa sekarang?” Sejurus kemudian bisa dipastikan mama yang sedang naik pitam itu akan menurunkan nada suaranya (meski masih sedikit bergetar), “Tu, Sam, ditanya tante tuh. Masih TK, Tanteeee.” Setelah itu seisi ruangan dipenuhi gumaman, senyum, dan seperti dikomando muncul banyak komentar bernada pujian, seperti “waaaa heeeebat yaaaa”, “waaaaaa udah pinter ya sekarang”, “saaaama dong kayak Mas Aldoooo”, dan “nah lho, kacangnya kok habis?”. Saat itu Anda pasti berharap sudah belajar jurus menghilang.
Reuni keluarga adalah masa-masa penuh kenangan dan kacang. Saat semua anggota keluarga berkumpul yang ada biasanya adalah kue-kue, pinggan penuh lauk, stoples kacang di pojokan, sirup marjan, gosip segar, dan keponakan. Bila elemen-elemen itu digabungkan maka reuni itu akan menjadi obrolan tanpa titik koma seputar mendiang Alda, Melky, dan Adi ditilik dari sudut pandang 360 derajat bersama suara sendok, suara kacang remuk, dan omelan Mbak Ine ketika Sammy menumpahkan segelas sirup marjan. Bila ada yang ingin belajar sulap, itulah saat yang paling tepat untuk menyeruput kacang dalam stoples segenggam penuh tanpa seorang pun pernah menyadarinya. Anda boleh coba praktekkan cara itu sekali waktu.
Kendati demikian, reuni keluarga adalah masa-masa yang juga penuh ampunan karena dalam sekejap seorang mbak-mbak akan dengan seketika mencuri perhatian khalayak sekaligus menyelamatkan harga diri Sammy, sang keponakan, dari rasa bersalah dan rentetan omelan mamanya dengan pertanyaan, “Wah, Sammy udah besar ya. Kelas berapa sekarang?” Sejurus kemudian bisa dipastikan mama yang sedang naik pitam itu akan menurunkan nada suaranya (meski masih sedikit bergetar), “Tu, Sam, ditanya tante tuh. Masih TK, Tanteeee.” Setelah itu seisi ruangan dipenuhi gumaman, senyum, dan seperti dikomando muncul banyak komentar bernada pujian, seperti “waaaa heeeebat yaaaa”, “waaaaaa udah pinter ya sekarang”, “saaaama dong kayak Mas Aldoooo”, dan “nah lho, kacangnya kok habis?”. Saat itu Anda pasti berharap sudah belajar jurus menghilang.
Subscribe to:
Posts (Atom)