Sutradara asing ada banyak macamnya. Ada yang pintar urusan story telling, ada yang pandai mengarahkan adegan untuk ditambahi special effect nantinya, ada yang mahir menghasilkan gambar-gambar bening, cantik, atau biasanya disebut beauty shot, ada juga yang mampu bekerja sangat efisien (proses shooting yang biasanya nyaris 20 jam itu bisa diselesaikan dalam 6-8 jam), lalu ada pula sutradara asing yang pandai berkelakar dan pandai mengambil hati klien.
Dari macam-macam jenis itu, harganya pun berbeda-beda. Yang cuman pandai berkelakar biasanya paling murah. Pada umumnya sutradara jenis ini adalah sutradara asing tua, yang sudah menikah dengan orang Indonesia, dan tinggal di Indonesia sejak belasan atau puluhan tahun silam. Hasil arahan dia, ataupun iklan yang pernah dia buat biasanya tidak terlalu luar biasa. Proses kerjanya pun tidak terlalu cepat. Secara umum, sutradara baru lulus sekolah pun bisa membuat iklan dengan kualitas yang sama. Tapi ada satu perbedaan yang paling mencolok. Beliau bule.
Kita tidak perlu malu bila dikatakan masih silau dengan hal-hal yang berbau asing. Hal itu pula yang terjadi dengan para pemilik produk yang masih sangat awam dengan dunia iklan. Nama si sutradara asing sudah cukup membuat mereka percaya: kampanye produk mereka berada di tangan yang tepat.
Dari sini sudah kelihatan akar permasalahannya. Tulisan ini tidak dibuat untuk menyudutkan salah satu pihak. Para sutradara bule itu hanya pandai memanfaatkan peluang dan jeli melihat kebutuhan. Di sisi lain, pihak biro iklan ataupun pihak rumah produksi pun turut menikmati keuntungan jangka pendek. Keadaan ini berlangsung bertahun-tahun dan mulai dirasakan dampaknya oleh sutradara muda yang salah satunya adalah tipe sutradara baru lulus sekolah tadi.
Tapi sekarang ceritanya bisa berbeda. Bila aturan tentang larangan pembuatan iklan oleh tenaga asing jadi diberlakukan, industri film iklan kita pun pasti berbeda jadinya, meskipun saya pikir tidak lantas jadi maju, berkembang pesat, dan jadi hebat. Yang pasti adalah, gaji sutradara lokal bakal meroket, melaju pesat, dan jadi pemikat bagi semua orang untuk menjadi sutradara.
Sutradara asing yang pandai berkelakar jelas habis diberantas. Sutradara muda belia asal kampus pun bisa naik gajinya, meski kadar penyutradaraannya masih “coba-coba”. Dan yang saya takutkan kemungkinan besar bisa terjadi: Zack Snyder (sutradara iklan yang “coba-coba” bikin film 300 dan sukses itu—Red.) tidak akan pernah mampir ke Indonesia dan menularkan ilmunya kepada masyarakat film iklan kita. Mudah-mudahan ini bukan musibah.
Nah sekarang saya jadi teringat Pak “Alex” si sutradara iklan rokok itu yang membuat saya kagum ketika dia menggunakan hasil jepretan Nikon D2Xs (kamera DSLR) untuk diselipkan di salah satu film iklannya.
No comments:
Post a Comment