Blog

vivid


Pigura berbingkai emas memagari potret sosok perawan tanggung di sisi dinding terakota. Persis di bawahnya, tungku pemanas dengan api merah kecil-kecil menyemburatkan warna merah keemasan menyaput separuh wajah lelaki berbalut keriput. Wajah lelaki itu timbul tenggelam seiring lambaian lidah api. Matanya menatap lurus kertas yang telah selesai ditulisinya. Sepucuk surat yang telah bertuliskan lengkap nama kelima anaknya.

Di depan laki-laki tadi, sang istri membungkus dirinya rapat-rapat dengan selimut. Tubuhnya tak lagi menginginkan laki-laki tua itu, namun sesungguhnya hati, pikiran, dan perasaannya diam-diam masih mencintainya. Tak terkatakan. Besok pagi mereka akan bercerai. Sebuah perceraian tubuh, tapi siapakah yang dapat menceraikan hati.

Si laki-laki tua itu menghendaki perawan muda yang ditemuinya saban sore di taman kota. Hasrat dan gairah telah membuatnya menjatuhkan pilihan kepada perempuan itu. Perempuan belia yang bisa menemaninya menghabiskan pagi di beranda, meratap senja di taman kota, dan akhirnya menanti fajar lewat lompatan-lompatan waktu yang bergairah di atas ranjang. Satu lompatan yang artinya menjadi lima tahun lebih muda bagi setiap laki-laki mana pun di muka bumi ini.

Istri laki-laki tua itu menangisi perkawinan penuh bunga di gereja puluhan tahun silam. Dia masih ingat wajah saudara-saudara perempuannya yang menangis kala itu. Dia juga ingat benar pantulan dirinya di muka cermin setengah jam sebelum ia dan laki-laki itu mengucapkan janji di hadapan Tuhan. ”Sampai maut memisahkan kita....”

Ia teringat wajah cantik miliknya yang berhias kemolekan tubuh seorang perawan. Kulit yang putih, halus, kencang, dan bersinar. Dada yang penuh, pinggul yang padat, dan kaki yang jenjang yang mampu menopang tubuhnya anggun. Semua keindahan itu mampu menarik semua mata lelaki yang ditemuinya.

Ia teringat lukisan kegembiraan di wajah ibunya saat ia akhirnya memutuskan akan menikah dengan laki-laki itu.

Ibu perempuan itu meninggal bersama senyumnya. Ia melihat cucu keduanya lahir dua jam sebelum maut mengajaknya pergi. Ia mati dengan keyakinan anaknya akan aman bersama laki-laki itu. Laki-laki yang ia jodohkan dengan anak perawannya.

Sungguh, perjodohan tidak jadi masalah besar bagi perempuan itu. Dua bulan sebelum pernikahan hingga tiga puluh tahun menjalaninya, perjodohan itu tidak pernah menjadi masalah baginya. Ia tidak pernah merasa takluk dengan keinginan ibunya. Ia juga tidak pernah merasa teriming-imingi kekayaan laki-laki itu. Ia hanya ingin mencoba mencintainya. Tak lebih.

***

Di ruang terakota, persis di depan tungku, laki-laki itu beranjak dari sofa. Ia menatap istrinya sebentar. Wajah itu kelihatan samar-samar. Kabur. Tidak nyata. Hanya gurat-gurat tanpa warna. Seperti kanvas yang belum pernah dijamah. Tapi mungkin juga tidak. Wajah itu tak pernah kelihatan samar. Wajah itu tampak jelas, sejelas-jelasnya. Lebih jelas dari apa pun. Mata laki-laki itu saja yang rabun. Ia tak dapat lagi melihat jelas. Tapi mungkin juga tidak. Matanya mungkin baik-baik saja. Tidak perlulah kita menjatuhkan kutuk pada matanya. Ia hanya tidak dapat melihat dengan jelas. Itu saja.

Ia melangkah dan menatap istrinya sekali lagi untuk sekadar memastikan. Memastikan bahwa ia masih menginginkan perawan di taman itu.

***

Perempuan itu cantik. Jelita namanya. Ia masih muda. Tidak lebih dari dua puluh lima usianya. Sekuntum bunga yang sedang merekah. Perempuan baik-baik. Belum tahu banyak tentang cinta. Tidak tampak ada laki-laki yang sedang bersamanya. Sendiri di taman kota.

Sepintas ia tidak kelihatan berbeda dengan puluhan bahkan ratusan perawan lain yang ada di kota. Tak tampak ada guratan derita di wajahnya. Ayahnya pergi entah ke mana sejak ia masih di kandungan ibunya. Sang ibu berhenti melacur ketika akhirnya di sebuah bar ia menemukan pria yang jatuh hati padanya. Seorang pria baik-baik.

Mereka menikah, dan tak lama setelah itu pria baik tadi pergi bersama penyakit yang dideritanya. Tapi ia tak pergi begitu saja. Ia meninggalkan lebih dari cukup harta untuk pelacur itu. Dengan warisan berlimpah, pelacur itu membesarkan anak gadisnya.

Perawan muda itu duduk diam di bangku taman. Ia menanti laki-laki tua itu. Ia tahu besok laki-laki tua itu akan menikahinya. Sebuah perjanjian segitiga antara dirinya, Tuhan, dan si laki-laki tua. Ia tidak terlalu mengerti dengan tetek bengek perjanjian itu. Ia juga tidak sepenuhnya peduli. Ia tahu si pangeran sudah beranak lima. Ia juga kenal dengan permaisuri sang pangeran. Tapi ia juga tidak peduli. Toh laki-laki itu telah memberikan nafkah yang cukup untuk anak-anaknya lewat sebuah surat wasiat. Laki-laki itu juga telah berjanji akan memberikan seluruh cinta pada dirinya. Dan gadis itu telah membuktikan ketulusan cintanya. Tidak hanya sekali dua kali.

Sampai saat ini laki-laki itu tidak pernah mengerti mengapa, kenapa, dan bagaimana, perawan itu jatuh hati padanya. Perawan belia, terpaut puluhan tahun, takluk di hadapannya. Namun hebatnya lagi, kata laki-laki itu, ia tak pernah mengerti mengapa ia kemudian memilih untuk melanjutkan sisa hidupnya bersama perawan itu. Ia tahu cinta. Dia pernah merasakannya dulu. Tapi, yang ia rasakan ketika bersama perawan itu sungguh berbeda. Tak sama dan benar-benar lain.

Seorang karib telah mengatakan padanya, “Itu bukan cinta. Cinta tidak seperti itu. Cinta tidak datang lagi saat ini. Yang kau rasakan hanya nafsu. Dan nafsu tidak datang bersama cinta.“

Laki-laki itu mengelak sambil tertawa. “Kau belum kenal dia, sahabat. Jelita itu benar-benar pantas untuk dicintai. Tak ada hal yang lebih berharga ketika kau sedang bersamanya.”

***

Perawan itu belum puas mengagumi kecantikan dan kemolekan tubuhnya di muka cermin. Gaun putih membelai lantai, altar putih berhias bunga-bunga, tawa campur tangis di sudut-sudut gereja, langit-langit berukir yang berakhir di ambang pintu....

Ia meninggalkan gereja bersama laki-laki tua itu. Tidak tampak di matanya sosok ibu yang sedang berdoa untuknya.

Di tempat itu juga, di balik daun-daun muda yang baru dipetik, perempuan tua itu masih meratapi debu yang menggantung di udara. Entah kenapa bumi tidak lekas menarik kembali butir-butir debu yang membalut dirinya. Hatinya sunyi. Ia meratap, menangis tanpa air mata. Namun senyum membalut wajahnya yang keriput.

Menjelang fajar. Pagi-pagi sekali, masih di atas ranjang, laki-laki itu mati.

***

Pigura berbingkai emas memagari potret sosok perawan tanggung di sisi dinding terakota. Persis di bawahnya, tungku pemanas dengan api merah kecil-kecil menyemburatkan warna merah keemasan menyaput separuh wajah lelaki berbalut keriput. Wajah lelaki itu timbul tenggelam seiring lambaian lidah api. Matanya menatap lurus kertas yang telah selesai ditulisinya. Sepucuk surat yang telah bertuliskan lengkap nama kelima anaknya.

Laki-laki itu beranjak dari sofa. Ia menatap istrinya sebentar. Ia tahu anak-anaknya akan membencinya. Ia sadar sepenuhnya.

Ia melangkahkan kakinya ke kamar utama. Di ambang pintu ia melihat seisi kamar yang selama ini ia bagi bersama istrinya. Ranjang besar di tengah ruangan, jendela ramping dengan tirai putih melambai, dan sepotong meja di sudut kamar pemberian ibu mertuanya.

Laki-laki itu menoleh ke ruang terakota. Perempuan itu tidak bergerak. Hanya bayangannya yang menari-nari di dinding.

Perempuan itu terlelap.

2 comments:

Tin said...

bingkainya bagus ga, tor? kalo g sih mendingan ga pake bunga kaleeee....

Unknown said...

bagus bgt, wong warnanya aja keemasan kok hehehe. ada byk pilihan dengan atau tanpa bunga. tinggal disesuaikan dengan selera aja