Blog

a midsummer's night dream hehehe


Hujan diiringi gemuruh petir mulai menyelimuti hutan Puti. Segenap debu, humus, tanah, dan tahi binatang perlahan terbawa ribuan tetes air hujan yang menjelma men­jadi aliran air. Lekuk-lekuk tanah menuntunnya ke dasar lembah, seperti nadi yang mu­lai terisi darah. Aliran itu terus bergerak dan meluncur mencari tempat kosong. Di atas ubun-ubun deru petir tak henti-henti mengiba langit agar jangan berhenti menangisi puluh­an bahkan ratusan tubuh yang terserak di tanah basah dan di antara semak. Sebagian di antara tubuh-tubuh itu menangisi kerabat dan saudara dekatnya yang membujur di sisi­nya. Sebagian lagi menangisi kerabat dan saudara jauhnya yang membuat mereka ter­telungkup dan terkapar. Mati.

“Bergegaslah, cepat! Jangan kau tengok lagi mainan usang kekasihmu itu! Bawa yang kau butuh saja. Cepat, Bian bilang, mereka sudah tiba di kaki bukit.”

Kotak kayu berukir itu tidak berbeda jauh ketika pada kali pertama Dipo mem­beri­kannya padaku. Mungkin warnanya yang sedikit kusam. Tapi itu bukan berarti aku tidak merawatnya. Mungkin karena terlalu banyak kugosok dan kubersihkan, lapisan catnya mulai memudar. Seperti saat ini, kala aku merindukannya. Entah sudah berapa lama ko­tak berukir itu kugosok dengan secarik perca. Kutimang-timang benda itu. Dalam hati aku tersenyum saat menyadari bahwa sampai hari ini aku belum pernah tahu untuk apa ko­tak berukir itu.

Ripin bilang kotak itu adalah tempat menyimpan tembakau. Saat itu aku langsung me­rebut kembali kotak itu dari tangannya ketika ia memasukkan tembakau miliknya ke da­lam kotak itu. Kotak itu langsung kucuci dan kurendam dalam wangi-wangian semalam­an karena bau tembakau.

Kotak itu menebar aroma wewangian ketika kudekatkan ke hidungku. Aku kembali tersenyum mengingat kejadian itu. Namun, tetap saja aku ma­sih belum mengerti kenapa Dipo memberikan kotak itu padaku. Seorang sahabat karibku, Suti, mengatakan kotak itu adalah tempat cincin kawin yang isinya akan segera me­nyu­sul. Ah, Suti memang paling tahu bagaimana caranya membuatku tersipu. Sungguh aku merasa sangat malu saat ia mengatakan hal itu. Apalagi di hadapan teman-temanku yang lain. Tapi, diam-diam kuamini juga perkataannya. Aku berharap tak lama lagi isinya me­nyusul bersama dengan kedatangannya. Namun, hingga kini, hingga tiba saatnya Suti melahirkan anaknya yang kedua, Dipo tak kunjung datang.

“Hei, belum beranjak juga kau! Sudah bosan rupanya kepalamu bersatu dengan tu­buh itu, ya?” Emak hendak merampas kotak berukir itu ketika ia melihatku masih ter­kenang-kenang. Kuangkat kantong pakaianku dan langsung meninggalkan kamar.

Kakiku sedang menuju ke pintu belakang ketika kakak perempuanku memanggilku untuk membawa serta kantong pakaian keponakanku yang masih bayi. Ia me­nyo­dor­kan kantong itu dengan satu tangan sementara tangannya yang lain meng­gendong si bu­yung yang terus-terusan tertawa riang sambil menendang-nendangkan kakinya. Mungkin ia merasa senang karena diajak bepergian sesore ini.

Orang tuanya, kakak perempuanku bersama suaminya, memang jarang membawa ser­ta si buyung ke mana pun mereka pergi. Anak itu selalu ditinggal sendiri bersama mainan-mainan kayunya yang sudah terkelupas di sana-sini. Biasanya aku yang selalu mem­bawanya berjalan keliling kampung. Ia selalu senang jika diajak menghirup udara be­bas. Mungkin darah pemburu yang dimiliki ayahnya telah menurun padanya. Ia selalu se­nang melihat ternak penduduk yang berkeliaran di halaman rumah. Tak pernah ia terlihat takut atau bahkan menangis jika didekatkan pada binatang-binatang itu. Se­baliknya, ia tampak selalu ingin menyentuh mereka dengan tangannya.

Kalau saja Dipo melihat hal itu—entah apa yang dipikirkannya selama ini. Ke ma­na saja ia pergi. Kadang tidak enak juga terlalu sering membawa anak orang keliling kampung. Orang-orang kampung mulai membicarakan diriku sebagai gadis yang ditinggal perjakanya. Sudah menjadi semacam aturan umum tak tertulis yang menyatakan bah­wa hanya gadis yang tidak baik lakunya yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Dan dari ca­ra mereka melihat dan menjaga jarak dariku sudah tampak bahwa akulah “gadis yang tak baik lakunya” itu. Tapi, tidak ada yang dapat mengusik kepercayaanku pada Dipo. Ia pasti kembali.

Aku tiba di ambang pintu belakang. Beberapa pemuda berpakaian gelap berlarian ke arah sungai. Secarik kain merah kumal diikatkan di kepala mereka. Tiap-tiap pemuda itu meng­genggam pedang, parang, dan celurit. Salah satu dari mereka menengok padaku. Ia ada­lah pemuda yang sehari-harinya kukenal sebagai Ripin seorang pengukir dan pemanjat pohon paling andal di kampung. Ia juga kenal padaku. Kami adalah karib sejak ke­cil. Namun, sore itu ada yang sesuatu yang lain dari dirinya yang belum pernah kukenal. Sorot matanya, gerak-geriknya, dia bukan Ripin yang kukenal. Dia benar-benar tam­pak seperti Ripin yang marah. Marah pula bingung.

Gubuknya di puncak bukit dirampok dan dibakar saat ia turun ke kampung mem­bantu kami membangun kandang. Beberapa orang kampung mengatakan ia hampir gi­la ketika di antara puing-puing gubuknya sosok mayat tanpa kepala dan perut robek te­lah hangus terbakar. Tak jauh dari situ, sesosok mayat lagi, namun lebih kecil juga telah hangus. Itu bayi pertama Ripin yang baru tujuh bulan di­kandung istrinya. Saat itu, Ripin langsung membungkus kedua mayat itu dan me­ngubur­nya di kuburan kampung. Tak sepatah kata pun pernah keluar dari mulutnya sejak ha­ri itu. Dan, tak seorang pun pernah berbicara dengannya. Namun, dalam kemarahan dan kebingungan, ia tidak sendiri. Ada Itam, Ngijan, Pisi, dan masih ada yang lain yang ju­ga bernasib sama dengannya. Mereka juga ditinggal mati keluarganya.

Sudah lelah rasanya kakiku dibawa berlari. Jalan setapak yang mulai mengecil meng­isyaratkan bahwa aku telah memasuki kawasan tengah hutan. Kantong pakaian yang kubawa sudah koyak boyak dicabik ranting pohon mati di sepanjang jalan. Hutan jadi tempat yang paling tenang dan damai hari ini. Matahari tak dapat mengintip­ku di dalam hutan. Tak ada celah yang dapat dilaluinya. Daun-daun terlalu rapat me­naungi tanah, walaupun setiap hari daun-daun kering gugur dimakan musim.

Di beberapa tempat, badan ranting dan dahan sudah memulai babak kehidupan ba­ru. Sementara, di mukaku puluhan orang masih mengayunkan parang dan pedangnya da­lam kesunyian. Tidak ada suara, hanya langit yang terus-menerus menangis. Di sisiku, di antara orang kampung yang kukenal, kekasihku terbaring. Tubuhnya basah, berdarah, dan tersenyum. Dia mati setelah mengatakan bahwa cintanya terlalu banyak untuk di­simpan dalam kotak kayu itu. Di tangannya sebuah kotak kayu yang kelihatannya masih ko­song ditempeli butir-butir air hujan.

No comments: