Pernah sekali waktu, ada yang bilang dia bukan Ayahku. Tapi apa bedanya. Setelah lima belas tahun berlalu, ia masih setia menyayangiku. Dia masih mengasihiku, walau tidak dengan kata-kata, tidak dengan belaian, tidak dengan hadiah-hadiah, tidak dengan apa pun. Hanya perasaanku saja yang mengatakan demikian.
Banyak orang bilang, kalau Ayahlah yang menyebabkan Ibuku meninggal. Pak Rimo juga bilang begitu. Tapi Oma tidak berkata apa-apa ketika kutanyakan kepadanya. Tante Rita cuma menangis sambil memelukku. Tak ada yang bisa menjawab. Tapi Ayah menjawab, “Ya,” sambil berlutut di samping tempat tidurku.
***
Rumahku jauh dari kota. Kau harus berjalan kaki kira-kira satu jam apabila hendak membeli sesuatu di kota. Kendaraan boleh dibilang tidak ada. Hanya Pak Madi dan Ko Bhun Tong yang punya mobil di kampung kami. Sisanya, naik sepeda atau berjalan kaki.
Tapi rasa-rasanya memang lebih enak berjalan kaki. Aku bisa menyusuri garis pantai di sebelah kiri jalan yang menuju ke kota perlahan-lahan. Ada debur ombak, gemuruh angin, dan suara gesekan daun, yang melatari perjalananku. Di sisi lain jalan, padang rumput sempit dibelah sungai kecil yang hampir tiba di akhir perjalanannya.
Dulu ayah sering mengajakku bermain di tepi sungai itu. Ia memancing dan aku bermain perahu-perahuan dari kertas. Lama biasanya kami di tempat itu. Ayah baru mengajak aku pulang ketika matahari hampir terbenam. Kala itu biasanya keranjangnya sudah penuh dengan ikan segar. Ayah memang tahu betul di mana tempat yang baik untuk memancing. Ia tahu benar di mana ikan-ikan yang besar sembunyi. Ia sepertinya kenal benar dengan sifat dan kebiasaan ikan-ikan itu. Ia tahu mana jenis ikan yang pemalu, dan ikan mana yang sama sekali tak gentar dengan kail di balik umpan.
Setelah selesai memancing, biasanya kami tidak langsung pulang. Ayah selalu membawaku berjalan ke sebuah tempat yang katanya adalah tempat istirahat Ibu setelah mampir dulu di pasar untuk menjual ikan-ikannya.
Tempat istirahat Ibu tidak jauh dari pasar. Jaraknya kira-kira sama seperti jarak antara rumah kami dengan rumah Pak Rimo. Sekitar tiga kilometer. Tetapi perjalanan itu tidak pernah terasa jauh sebab Ayah selalu bercerita tentang apa saja mengenai tempat-tempat yang kami lewati. Selalu ada saja yang baru yang bisa ia ceritakan kepadaku tentang tempat itu. Seperti batu-batu gunung berukuran raksasa yang tergeletak di tengah padang itu. Ayah mengatakan tempat itu dulunya adalah tempat bermain yang paling menyenangkan pada saat ia masih seusiaku. Saban hari, ia dan teman-temannya selalu bermain di situ. Apa saja. Orekan[i], main layangan, atau sekadar menghindar dari rumah. Ayah bilang, dulu ia adalah anak yang sangat nakal. Ia tidak pernah mau membantu Oma di rumah. Menurutnya, hanya anak perempuanlah yang seharusnya tinggal di rumah.
Aku masih ingat satu kali waktu Ayah pernah mengatakan hal tersebut kepada Oma. “Menjemur kelapa, membersihkan sayur, menyapu, itu semua bukan pekerjaan yang pantas untuk anak laki-laki. Toh, ada Rita di rumah. Kenapa bukan dia saja yang disuruh,” kata Ayah.
“Bukan begitu, Rob...,” ucapan Oma terpotong. “Kan itu bagus buat dia yang nantinya akan jadi ibu buat anak-anaknya.”
Ayah juga mengatakan kalau Oma memang terlalu memanjakan Tante Rita. Oma selalu bilang kalau Tante Rita lahir dengan pembawaan tubuh yang lemah. Ia sering sakit-sakitan dan tidak kuat jika dipaksa bekerja terlalu keras. Tetapi menurut ayah, itu hanya alasan yang dibuat-buat. Ia sering melihat Tante Rita diam-diam menyelinap ke luar rumah dan bermain bersama anak-anak perempuan lainnya.
“Ayahmu memang keras kepala, Tini,” kata Oma suatu waktu padaku.
“Dia itu tidak pernah percaya sama orang lain. Tidak ada orang yang benar, cuma dia sendiri yang paling benar. Dari kecil dia sudah begitu. Ia juga sering menuduh adiknya yang perempuan itu, pergi main sampai malam di belakang Oma. Padahal Rita pergi ke rumah Bu Supri karena Oma yang suruh. Rita memang lemah, tapi belajar menjahit toh tidak akan terlalu melelahkan buat dia. Tapi percuma saja Oma bilang begitu, Ayahmu pasti tidak percaya. Memang luar biasa sifat keras kepalanya itu.”
“Apalagi waktu dia menamatkan sekolahnya di kota. Keras kepalanya itu makin menjadi-jadi. Dia jadi merasa lebih tahu dan lebih pintar dari siapa saja. Dulu sering sekali dia pulang ke rumah dengan badan bengkak-bengkak dan bibir berdarah karena berkelahi dengan orang-orang di pasar. Dia bilang kalau ikan-ikan hasil tangkapan dia itu ditaksir terlalu murah. Padahal seharusnya dia sadar, tidak ada orang yang mampu membeli ikan-ikan hasil tangkapan penduduk sini selain tengkulak-tengkulak itu. Makanya, seringkali dia terpaksa harus membawa pulang lagi ikan-ikan hasil tangkapannya itu karena tidak laku dijual.”
Namun, sifat keras kepala Ayah lambat laun mulai hilang. Lebih-lebih ketika Ibu pergi. Sejak saat itu, ia jadi lebih sering diam dan tidak pernah membantah. Hidupnya kini hanya berputar-putar antara rumah, sungai, pasar, dan tempat istirahat Ibu.
“Ibumu itu orang yang sangat mudah untuk dicintai,” kata Ayah, suatu saat sebelum aku tidur.
“Dia tidak pernah menuntut yang macam-macam. Buat dia, dunia ini terlalu sempurna kalau cuma dilihat dari keindahannya. Dan sangat memuakkan, jika terus-terusan dilihat dari kekurangannya. Ini yang dia terapkan pada Ayah dan setiap orang yang dikenalnya.”
“Dia juga tidak pernah mengeluh. Dia bilang, semua hal akan terasa lebih buruk jika dilihat dari hati yang tertutup keluh kesah. Ketidakpuasan tidak pernah berakhir melalui keluhan. Kesulitan sudah lama lewat ketika orang bodoh masih terus-terusan menangisi keadaannya.”
“Ayah tidak pernah bermaksud membunuh Ibumu. Tak sedikit pun niat itu melintas di benak Ayah. Ibumu sangat lemah dan Ayah tahu dia pasti sangat menderita. Tapi dia tak pernah menunjukkannya pada siapa pun. Juga pada ayah. Tapi Ayah tahu Ibumu sakit dan menderita. Perutnya terlalu besar untuk ukuran wanita yang sedang mengandung enam bulan. Separuh kandungannya berisi tumor yang merebut makanan calon adikmu.”
Jarang sekali aku melihat Ayah seperti ini. Ia benar-benar seperti seorang ayah. Cara berbicaranya, raut mukanya, ia kelihatan lebih tua. Ia tidak lagi kelihatan seperti teman bermain bagiku. Ia tidak pernah bercerita tentang Ibu seperti itu sebelumnya. Bagaimana mereka bertemu, masa-masa pacaran mereka, pernikahan mereka, kelahiranku, sampai ketika maut menjemputnya. Itu adalah topik yang sama sekali tak pernah diangkat di setiap pembicaraan kami. Dan aku tidak pernah menuntut. Pernah sekali waktu Ayah mengatakan ada saatnya ketika aku harus mengetahui semuanya. Dan aku juga tidak pernah bertanya, kapan.
Tempat istirahat Ibu adalah sepetak tanah kecil di tepi bukit yang berbatasan langsung dengan laut. Tempat itu kelihatannya mirip sekali dengan lukisan, apalagi pada saat-saat seperti ini, ketika langit cerah telanjang tanpa awan yang menutupi bintang-bintang. Laut tanpa ujung seperti cermin raksasa dengan karang-karang runcing di bibir bukit yang siap mencabik dan memboyakkan segala sesuatu yang jatuh di atasnya. Aku dan Ayah selalu duduk di dalam dangau beratap rumbia tanpa kata-kata. Hanya angin, daun, dan gemuruh gumpalan ombak yang berbisik mengalahkan jerit jangkrik di antara bangkai kayu mati.
“Hari itu, di sini, Ibumu pernah bilang kalau dia mau melakukan apa saja supaya bisa terus mencintai Ayah dan kau. Setelah itu, dia melemparkan dirinya ke atas karang. Saat itu, Ayah tak sedikit pun berusaha untuk mencegahnya melakukan hal itu. Dia berhak melakukannya, seperti juga Ayah yang nantinya juga berhak untuk disalahkan.”
Langit masih cerah telanjang tanpa awan yang menutupi bintang-bintang. Jerit jangkrik bersama gemuruh ombak mulai terdengar sayup-sayup ketika aku dan Ayahku beranjak dari tempat itu.
[i] Orekan: permainan kejar-kejaran yang dimainkan anak-anak di Palembang.
1 comment:
Your website has a useful information for beginners like me.
»
Post a Comment