Teater Kecil
Keramaian di arena sudah terdengar jauh sebelum serombongan orang berjubah merah dengan kereta kencananya memasuki gerbang. Teriakan, gumaman, atau sekadar suara omong-omong hadirin menjelma menjadi gelombang suara riuh-rendah tak menentu. Suara-suara itu mulai berwujud ketika debu yang dibawa oleh kaki-kaki kereta beranjak dibawa angin. Sebuah arena serupa bangunan Koloseum di Roma mulai tampak. Memang tidak sebesar itu, mungkin hanya separuhnya, tapi lebih rindang. Arena itu dipayungi oleh daun-daun rindang yang ditopang oleh batang-batang pohon raksasa yang mungkin sudah ratusan tahun berdiri di situ.
Orang-orang berjubah merah tadi sudah mengambil tempat duduk ketika dari tengah arena mendadak muncul seseorang dengan pakaian rapi serupa jas Eropa yang tampak agak kekecilan jika harus dikenakan olehnya. Orang itu menggenggam microphone di tangan kanan, dan tangan kirinya disimpan di balik tubuhnya yang gempal.
Dari tiap pengeras suara, terdengar suaranya yang berat dan rendah. Sesaat, para hadirin memperhatikan dengan penuh saksama setiap kata yang meluncur deras dari bibirnya.
"Puan-puan dan Tuan-tuan yang berbahagia, Selamat Datang! Segala puji dan syukur kami ucapkan atas kedermawanan Puan-puan dan Tuan-tuan hingga berkenan untuk menyempatkan diri hadir pada pertunjukan kami yang sederhana ini.”
Seluruh hadirin yang ada di situ bertepuk tangan meriah menyambut puja-puji si gendut.
“Namun, di luar itu semua, sungguh kami merasa sangat tersanjung karena pada petang ini telah hadir di tengah-tengah kita, para budayawan dan kritikus sastra terkemuka yang dengan segala kerendahan hati mau membuang waktunya untuk turut menyaksikan pertunjukan ini."
Serentak semua mata yang ada di arena tertuju pada lima orang berjubah merah yang berada di tribun utama. Di antara decak kagum dan puja-puji hadirin, orang-orang berjubah merah yang disebut-sebut sebagai budayawan dan kritikus sastra terkemuka itu terus saja berbicara satu dengan yang lain. Entah kenapa mereka seakan tidak peduli dengan gemuruh tepuk tangan dan sanjungan-sanjungan itu. Mungkin mereka sudah bosan dengan sanjungan seperti itu, atau mungkin saja perdebatan yang berlangsung antara mereka terlalu mengasyikkan untuk ditinggalkan.
Sadar dengan keadaan ini, si gendut di tengah arena langsung menarik kembali perhatian hadirin dengan suaranya yang berat dan rendah.
"Nah, baiklah, Puan-puan dan Tuan-tuan yang berbahagia, tanpa membuang waktu Anda lebih lama lagi, segera saja kita saksikan pertunjukan petang ini yang dipersembahkan oleh teater Wa Ghuo Bang dengan lakon Ma Lien Khoen Dang."
Seisi arena langsung dipenuhi tepuk tangan dan tak ada lagi yang mempedulikan orang-orang berjubah merah yang tampaknya semakin panas terlibat dalam perdebatan mereka. Entah apa yang mereka perdebatkan, namun salah satu di antara mereka tampak berdiri sambil mengacung-acungkan tangannya ke udara sambil terus berkata-kata.
"Namun sebelum pertunjukan dimulai, sudilah kiranya Puan-puan dan Tuan-tuan untuk mematikan bunyi pada ponsel, penyeranta, serta tidak merokok selama pertunjukan berlangsung. Atas kerja sama Puan-puan dan Tuan-tuan sekalian, kami ucapkan, terima kasih."
Setelah menyelesaikan tugasnya, si gendut langsung undur diri dan bergabung ke tengah-tengah hadirin.
Arena berdiameter sekitar lima puluhan meter itu serta-merta kosong dan keheningan menyelimuti ratusan penonton yang hadir di tempat itu seirng dengan datangnya malam. Akan tetapi hal ini tidak terjadi pada orang-orang berjubah merah tadi. Mereka masih saja berdebat ramai dan semakin seru saja kelihatannya.
Hanya selang beberapa detik, dari dasar arena muncul kubah kaca berukuran raksasa yang memisahkan arena dengan dunia di luarnya. Kubah setinggi sepuluh meter yang diliputi kaca setebal dua inci itu terlihat terlalu kokoh mengingat fungsinya sebagai peredam suara penonton ke dalam arena dan sebaliknya.
Dari pengeras suara muncul suara seorang wanita yang menginstruksikan hadirin untuk mengenakan perangkat audio berupa headphone yang dapat diatur bunyinya pada panel komputer di depan tempat duduk mereka. Setelah menjelaskan segala sesuatunya suara wanita itu menghilang dan digantikan dengan munculnya seorang pemain di dalam kubah kaca. Bibir pemain itu tampak bergerak-gerak, namun tak terdengar suara apa pun dari luar kubah. Beberapa penonton langsung mengenakan perangkat audio agar dapat mendengar dialog yang diucapkan pemain.
Sesaat hadirin tampak tekun mendengarkan dan di lain waktu mereka tertawa terbahak-bahak. Kadang mereka hanya diam sambil tersenyum-senyum kecil. Tetapi juga tidak jarang mereka kelihatan seperti ikut menyelami kegelisahan tokoh yang diperankan.
Alur cerita tampak mengalir mulus dengan komposisi tegangan yang naik-turun semisal irama sebuah komposisi klasik. Keselarasan tiap adegan dibangun di atas landasan cerita yang jujur dan telanjang. Apa adanya. Seperti tokoh utama, Ma Lien, yang menjadi kaya karena usahanya di negeri rantau. Atau, tokoh Ibu yang tidak ingin menjadi sekadar bagian dari masa lalu Ma Lien. Dengan sombong, si Ibu mengancam akan menjatuhkan kutuk dan sihir kepada Ma Lien jika ia, Ma Lien, tidak mengakuinya sebagai ibu. Tentu saja Ma Lien menolak. Ia bersikeras dengan anggapan bahwa ibunya telah mati. Memang tidak pernah disebutkan sebelumnya bahwa si Ibu berperan dalam keberhasilan Ma Lien sampai ia kaya raya.
“Di mana Ibu ketika Ma Lien berjuang mengais lumpur dan debu di negeri orang? Di mana Ibu ketika Ma Lien berebut makanan dengan anjing-anjing pelabuhan?”
“Ibu selalu berdoa dan memohonkan anugerah berlimpah untukmu, Nak.”
“Doa? Puih, semua kekayaan ini aku peroleh tanpa bantuan siapa pun. Apa pun. Apalagi doa. Semua itu aku peroleh melalui hasil jerih payahku, keringat dan darahku sendiri,” kata Ma Lien sambil menunjuk harta kekayaannya di atas kapal. Lalu ia berkata pada istrinya yang sungguh teramat cantik, gilang gemilang dengan perhiasan intan berlian di sekujur tubuhnya, “Kalau pun ada doa yang harus aku haturkan, maka aku akan mempersembahkannya padamu, Kekasih hatiku.”
Seluruh penonton bersorak ramai ketika Ma Lien mencium istrinya. Penonton agaknya terpana dengan kecantikan pemain yang memerankan tokoh istri Ma Lien Khoen Dang. Ia sungguh jelita dengan segala riasan dan busana yang meliputi tubuhnya.
Si Ibu yang merasa tidak diacuhkan oleh anaknya itu lantas berteriak, “Baiklah, jika memang doaku tak manjur, biarlah kau lihat kutukku yang segera akan kutimpakan padamu, anak durhaka!”
Beberapa penonton yang hanyut dalam lakon cerita, tampak melemparkan kayu, batu, dan benda-benda lain yang dapat dilemparkannya kepada tokoh Ibu. Tapi, untung saja kubah kaca itu terlalu kuat untuk ditembus oleh benda apa pun. Bahkan, konon kubah kaca itu sanggup menghentikan laju peluru sekalipun. Lakon tetap berjalan dan suasana di dalam maupun di luar arena bertambah panas.
Satu saat ketika alur cerita sedang berada dalam posisi klimaks, ketika tokoh Ma Lien dan ibunya digambarkan sedang mengutuk satu terhadap yang lain, salah seorang dari kumpulan jubah merah tiba-tiba berdiri dan berteriak memerintahkan pemain untuk menghentikan adegan yang tengah berlangsung. Dari teriakannya itu tertangkap jelas suara-suara protes terhadap jalan cerita lakon tersebut. Mungkin si jubah merah tahu jalan cerita itu yang sebenar-benarnya. Namun apa daya, teriakan itu tak pernah berhasil sampai ke telinga para pemain di dalam arena.
Adegan terus berlangsung dan semakin ramai karena kutukan sang ibu yang tadinya ditujukan pada Ma Lien, si anak durhaka, meleset jauh dan mengenai tokoh lain. Serta-merta pemain yang terkena kutukan nyasar itu terdiam kaku dan berubah jadi patung batu. Di lain pihak, anak-beranak itu masih saja saling menerjang, melompat, berkelit sambil terus melemparkan kutuk satu terhadap yang lain. Suasana tersebut didramatisasi dengan efek yang mengisyaratkan bahwa langit menjadi mendung ditambah suara deru halilintar yang bergemuruh.
Sementara, di luar arena si jubah merah semakin gusar karena teriakannya sama sekali tidak mendapat tanggapan dari para pemain. Lalu bersama rekan-rekannya, si jubah merah tadi menuju ke tepi arena dan memukul-mukul kubah kaca dengan tongkat yang ia bawa sambil terus berteriak-teriak. Seperti terbawa emosi, seluruh rombongan jubah merah pun ikut-ikutan menggedor-gedor kubah kaca dengan bermacam-macam benda keras yang mereka temui. Ada yang menggunakan batu, dahan pohon, komputer set, dan kursi penonton! Gila! Suasana jadi kacau. Jeritan dan tangis bayi, teriakan dan cemoohan penonton, ditimpali dengan suara menderu-deru dari dalam headphone.
Demi melihat aksi yang mulai menjurus ke tindak kejahatan, yaitu perusakan fasilitas masyarakat, beberapa petugas keamanan yang berada di sekitar situ segera mengambil tindakan untuk menghentikannya. Mereka mulai mendekat dan meminta rombongan jubah merah untuk menghentikan aksi mereka. Para penonton yang merasa terganggu pun mulai geram. Namun, mereka masih dapat menahan diri mengingat kedudukan para pemakai jubah merah yang sangat mulia. Jika para sastrawan atau penulis dianalogikan sebagai Tuhan yang maha pencipta, maka sang jubah merah adalah orang yang berkuasa penuh untuk mengkritik atau bahkan mencabut lisensi mencipta "si pencipta". Sadar dengan hal tersebut, kebanyakan penonton hanya melakukan aksi diam dan terus menyaksikan pertunjukan. Beberapa hadirin malah menganggap kejadian ini sebagai salah satu aksi yang dipertunjukkan kepada mereka. Dan mereka sungguh menikmatinya untuk beberapa saat.
Aksi preventif yang dilakukan para aparat itu masih berlangsung. Beberapa kali terlihat satu-dua orang di antara petugas itu mulai kehilangan kesabarannya. Gerombolan jubah merah itu pun seakan tidak peduli. Mereka masih saja memukul-mukul kubah kaca sambil berteriak-teriak. Entah kenapa mereka menjadi sangat murka melihat pertunjukan itu. Satu-dua penonton pun mulai bertanya-tanya, apakah yang dikatakan si jubah merah itu benar adanya. Tapi mereka hanya diam. Mungkin mereka sadar dengan statusnya yang hanya penonton. Penonton hanya boleh mengapresiasikan sebuah karya dengan tepuk tangan jika merasa terhibur, atau langsung pergi meninggalkan pertunjukan tanpa komentar. Mereka semua tahu dengan aturan itu. Itulah sebabnya mengapa para penonton memilih diam dan tidak ikut campur dengan protes yang dilakukan oleh para jubah merah itu.
Mendadak keramaian itu dikejutkan oleh suara letusan senjata. Entah dari mana asal-muasal bunyi tembakan itu. Namun, tak lama setelah bunyi letusan, salah satu dari rombongan berjubah merah itu roboh ke pangkuan penonton yang kebetulan duduk di dekatnya. Keheningan melanda arena pertunjukan. Suara-suara protes lenyap dalam sekejap. Tidak ada yang bergerak. Angin dingin yang berembus seperti membekukan setiap benda yang ada di tempat itu. Daun-daun mati yang ditiup angin seperti menggantung di udara. Tidak bergerak. Para pemain yang berada dalam kubah pun diam dan menghentikan akting mereka. Semua mata hanya memandang tubuh yang terbujur kaku dan berdarah. Si jubah merah mati. Tidak bernapas lagi. Tidak berteriak lagi. Ia hanya berbaring, diam, dan matanya menatap langit-langit.
Beberapa penonton mulai mengambil keputusan untuk meninggalkan arena pertunjukan sebelum lakon yang sedang dipentaskan selesai. Kala itu langit malam tampak cemerlang tanpa balutan awan putih yang biasanya berarak perlahan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
What a great site, how do you build such a cool site, its excellent.
»
Post a Comment