The machine of a dream
Such a clean machine
With the pistons a pumpin’
And the hub caps all gleam
When I’m holdin’ your wheel
All I hear is your gearWhen my hand’s on your grease gun
Oh it’s like a disease son
I’m in love with my car
Gotta feel for my automobile
Get a grip on my boy racer rollbar
Such a thrill when your radials squeal
Told my girl I’ll have to forget her
Rather buy me a new carburetor
So she made tracks sayin’
This is the end now
Cars don’t talk back
They’re just four wheeled friends now
When I’m holdin your wheel
All I hear is your gear
When I’m cruisin’ in overdrive
Don’t have to listen to no run of the mill talk jive
I’m in love with my car
Gotta feel for my automobile
I’m in love with my car
String back gloves in my automolove
vrooom... vroooom...
robohnya sekolah kami
Kemarin di Provinsi Frontier Barat Laut, Pakistan, 400 anak sekolah ditemukan regu penyelamat tewas di antara reruntuhan bangunan. Sekolah mereka terban diguncang gempa.
Di dekat sini, di Bojonggede, Bogor, 100 orang siswa nyaris kehilangan jiwa. Bangunan sekolah mereka mendadak roboh karena lapuk dimakan usia.
Tak jauh dari situ, masih di Bojonggede, ratusan siswa MI kehilangan tempat belajar. Madrasah tempat mereka belajar runtuh terseret longsor.
Di sekitar kita, mulai Kampung Nelayan di Muara Angke sana sampai Bogor, lalu dari Desa Dadap di Tangerang sampai Karawang, ada ratusan bangunan sekolah yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan ribuan anak sekolah.
Haruskah kita menunggu regu penyelamat datang mengusung keranda?
Di dekat sini, di Bojonggede, Bogor, 100 orang siswa nyaris kehilangan jiwa. Bangunan sekolah mereka mendadak roboh karena lapuk dimakan usia.
Tak jauh dari situ, masih di Bojonggede, ratusan siswa MI kehilangan tempat belajar. Madrasah tempat mereka belajar runtuh terseret longsor.
Di sekitar kita, mulai Kampung Nelayan di Muara Angke sana sampai Bogor, lalu dari Desa Dadap di Tangerang sampai Karawang, ada ratusan bangunan sekolah yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan ribuan anak sekolah.
Haruskah kita menunggu regu penyelamat datang mengusung keranda?
Teater Kecil
Keramaian di arena sudah terdengar jauh sebelum serombongan orang berjubah merah dengan kereta kencananya memasuki gerbang. Teriakan, gumaman, atau sekadar suara omong-omong hadirin menjelma menjadi gelombang suara riuh-rendah tak menentu. Suara-suara itu mulai berwujud ketika debu yang dibawa oleh kaki-kaki kereta beranjak dibawa angin. Sebuah arena serupa bangunan Koloseum di Roma mulai tampak. Memang tidak sebesar itu, mungkin hanya separuhnya, tapi lebih rindang. Arena itu dipayungi oleh daun-daun rindang yang ditopang oleh batang-batang pohon raksasa yang mungkin sudah ratusan tahun berdiri di situ.
Orang-orang berjubah merah tadi sudah mengambil tempat duduk ketika dari tengah arena mendadak muncul seseorang dengan pakaian rapi serupa jas Eropa yang tampak agak kekecilan jika harus dikenakan olehnya. Orang itu menggenggam microphone di tangan kanan, dan tangan kirinya disimpan di balik tubuhnya yang gempal.
Dari tiap pengeras suara, terdengar suaranya yang berat dan rendah. Sesaat, para hadirin memperhatikan dengan penuh saksama setiap kata yang meluncur deras dari bibirnya.
"Puan-puan dan Tuan-tuan yang berbahagia, Selamat Datang! Segala puji dan syukur kami ucapkan atas kedermawanan Puan-puan dan Tuan-tuan hingga berkenan untuk menyempatkan diri hadir pada pertunjukan kami yang sederhana ini.”
Seluruh hadirin yang ada di situ bertepuk tangan meriah menyambut puja-puji si gendut.
“Namun, di luar itu semua, sungguh kami merasa sangat tersanjung karena pada petang ini telah hadir di tengah-tengah kita, para budayawan dan kritikus sastra terkemuka yang dengan segala kerendahan hati mau membuang waktunya untuk turut menyaksikan pertunjukan ini."
Serentak semua mata yang ada di arena tertuju pada lima orang berjubah merah yang berada di tribun utama. Di antara decak kagum dan puja-puji hadirin, orang-orang berjubah merah yang disebut-sebut sebagai budayawan dan kritikus sastra terkemuka itu terus saja berbicara satu dengan yang lain. Entah kenapa mereka seakan tidak peduli dengan gemuruh tepuk tangan dan sanjungan-sanjungan itu. Mungkin mereka sudah bosan dengan sanjungan seperti itu, atau mungkin saja perdebatan yang berlangsung antara mereka terlalu mengasyikkan untuk ditinggalkan.
Sadar dengan keadaan ini, si gendut di tengah arena langsung menarik kembali perhatian hadirin dengan suaranya yang berat dan rendah.
"Nah, baiklah, Puan-puan dan Tuan-tuan yang berbahagia, tanpa membuang waktu Anda lebih lama lagi, segera saja kita saksikan pertunjukan petang ini yang dipersembahkan oleh teater Wa Ghuo Bang dengan lakon Ma Lien Khoen Dang."
Seisi arena langsung dipenuhi tepuk tangan dan tak ada lagi yang mempedulikan orang-orang berjubah merah yang tampaknya semakin panas terlibat dalam perdebatan mereka. Entah apa yang mereka perdebatkan, namun salah satu di antara mereka tampak berdiri sambil mengacung-acungkan tangannya ke udara sambil terus berkata-kata.
"Namun sebelum pertunjukan dimulai, sudilah kiranya Puan-puan dan Tuan-tuan untuk mematikan bunyi pada ponsel, penyeranta, serta tidak merokok selama pertunjukan berlangsung. Atas kerja sama Puan-puan dan Tuan-tuan sekalian, kami ucapkan, terima kasih."
Setelah menyelesaikan tugasnya, si gendut langsung undur diri dan bergabung ke tengah-tengah hadirin.
Arena berdiameter sekitar lima puluhan meter itu serta-merta kosong dan keheningan menyelimuti ratusan penonton yang hadir di tempat itu seirng dengan datangnya malam. Akan tetapi hal ini tidak terjadi pada orang-orang berjubah merah tadi. Mereka masih saja berdebat ramai dan semakin seru saja kelihatannya.
Hanya selang beberapa detik, dari dasar arena muncul kubah kaca berukuran raksasa yang memisahkan arena dengan dunia di luarnya. Kubah setinggi sepuluh meter yang diliputi kaca setebal dua inci itu terlihat terlalu kokoh mengingat fungsinya sebagai peredam suara penonton ke dalam arena dan sebaliknya.
Dari pengeras suara muncul suara seorang wanita yang menginstruksikan hadirin untuk mengenakan perangkat audio berupa headphone yang dapat diatur bunyinya pada panel komputer di depan tempat duduk mereka. Setelah menjelaskan segala sesuatunya suara wanita itu menghilang dan digantikan dengan munculnya seorang pemain di dalam kubah kaca. Bibir pemain itu tampak bergerak-gerak, namun tak terdengar suara apa pun dari luar kubah. Beberapa penonton langsung mengenakan perangkat audio agar dapat mendengar dialog yang diucapkan pemain.
Sesaat hadirin tampak tekun mendengarkan dan di lain waktu mereka tertawa terbahak-bahak. Kadang mereka hanya diam sambil tersenyum-senyum kecil. Tetapi juga tidak jarang mereka kelihatan seperti ikut menyelami kegelisahan tokoh yang diperankan.
Alur cerita tampak mengalir mulus dengan komposisi tegangan yang naik-turun semisal irama sebuah komposisi klasik. Keselarasan tiap adegan dibangun di atas landasan cerita yang jujur dan telanjang. Apa adanya. Seperti tokoh utama, Ma Lien, yang menjadi kaya karena usahanya di negeri rantau. Atau, tokoh Ibu yang tidak ingin menjadi sekadar bagian dari masa lalu Ma Lien. Dengan sombong, si Ibu mengancam akan menjatuhkan kutuk dan sihir kepada Ma Lien jika ia, Ma Lien, tidak mengakuinya sebagai ibu. Tentu saja Ma Lien menolak. Ia bersikeras dengan anggapan bahwa ibunya telah mati. Memang tidak pernah disebutkan sebelumnya bahwa si Ibu berperan dalam keberhasilan Ma Lien sampai ia kaya raya.
“Di mana Ibu ketika Ma Lien berjuang mengais lumpur dan debu di negeri orang? Di mana Ibu ketika Ma Lien berebut makanan dengan anjing-anjing pelabuhan?”
“Ibu selalu berdoa dan memohonkan anugerah berlimpah untukmu, Nak.”
“Doa? Puih, semua kekayaan ini aku peroleh tanpa bantuan siapa pun. Apa pun. Apalagi doa. Semua itu aku peroleh melalui hasil jerih payahku, keringat dan darahku sendiri,” kata Ma Lien sambil menunjuk harta kekayaannya di atas kapal. Lalu ia berkata pada istrinya yang sungguh teramat cantik, gilang gemilang dengan perhiasan intan berlian di sekujur tubuhnya, “Kalau pun ada doa yang harus aku haturkan, maka aku akan mempersembahkannya padamu, Kekasih hatiku.”
Seluruh penonton bersorak ramai ketika Ma Lien mencium istrinya. Penonton agaknya terpana dengan kecantikan pemain yang memerankan tokoh istri Ma Lien Khoen Dang. Ia sungguh jelita dengan segala riasan dan busana yang meliputi tubuhnya.
Si Ibu yang merasa tidak diacuhkan oleh anaknya itu lantas berteriak, “Baiklah, jika memang doaku tak manjur, biarlah kau lihat kutukku yang segera akan kutimpakan padamu, anak durhaka!”
Beberapa penonton yang hanyut dalam lakon cerita, tampak melemparkan kayu, batu, dan benda-benda lain yang dapat dilemparkannya kepada tokoh Ibu. Tapi, untung saja kubah kaca itu terlalu kuat untuk ditembus oleh benda apa pun. Bahkan, konon kubah kaca itu sanggup menghentikan laju peluru sekalipun. Lakon tetap berjalan dan suasana di dalam maupun di luar arena bertambah panas.
Satu saat ketika alur cerita sedang berada dalam posisi klimaks, ketika tokoh Ma Lien dan ibunya digambarkan sedang mengutuk satu terhadap yang lain, salah seorang dari kumpulan jubah merah tiba-tiba berdiri dan berteriak memerintahkan pemain untuk menghentikan adegan yang tengah berlangsung. Dari teriakannya itu tertangkap jelas suara-suara protes terhadap jalan cerita lakon tersebut. Mungkin si jubah merah tahu jalan cerita itu yang sebenar-benarnya. Namun apa daya, teriakan itu tak pernah berhasil sampai ke telinga para pemain di dalam arena.
Adegan terus berlangsung dan semakin ramai karena kutukan sang ibu yang tadinya ditujukan pada Ma Lien, si anak durhaka, meleset jauh dan mengenai tokoh lain. Serta-merta pemain yang terkena kutukan nyasar itu terdiam kaku dan berubah jadi patung batu. Di lain pihak, anak-beranak itu masih saja saling menerjang, melompat, berkelit sambil terus melemparkan kutuk satu terhadap yang lain. Suasana tersebut didramatisasi dengan efek yang mengisyaratkan bahwa langit menjadi mendung ditambah suara deru halilintar yang bergemuruh.
Sementara, di luar arena si jubah merah semakin gusar karena teriakannya sama sekali tidak mendapat tanggapan dari para pemain. Lalu bersama rekan-rekannya, si jubah merah tadi menuju ke tepi arena dan memukul-mukul kubah kaca dengan tongkat yang ia bawa sambil terus berteriak-teriak. Seperti terbawa emosi, seluruh rombongan jubah merah pun ikut-ikutan menggedor-gedor kubah kaca dengan bermacam-macam benda keras yang mereka temui. Ada yang menggunakan batu, dahan pohon, komputer set, dan kursi penonton! Gila! Suasana jadi kacau. Jeritan dan tangis bayi, teriakan dan cemoohan penonton, ditimpali dengan suara menderu-deru dari dalam headphone.
Demi melihat aksi yang mulai menjurus ke tindak kejahatan, yaitu perusakan fasilitas masyarakat, beberapa petugas keamanan yang berada di sekitar situ segera mengambil tindakan untuk menghentikannya. Mereka mulai mendekat dan meminta rombongan jubah merah untuk menghentikan aksi mereka. Para penonton yang merasa terganggu pun mulai geram. Namun, mereka masih dapat menahan diri mengingat kedudukan para pemakai jubah merah yang sangat mulia. Jika para sastrawan atau penulis dianalogikan sebagai Tuhan yang maha pencipta, maka sang jubah merah adalah orang yang berkuasa penuh untuk mengkritik atau bahkan mencabut lisensi mencipta "si pencipta". Sadar dengan hal tersebut, kebanyakan penonton hanya melakukan aksi diam dan terus menyaksikan pertunjukan. Beberapa hadirin malah menganggap kejadian ini sebagai salah satu aksi yang dipertunjukkan kepada mereka. Dan mereka sungguh menikmatinya untuk beberapa saat.
Aksi preventif yang dilakukan para aparat itu masih berlangsung. Beberapa kali terlihat satu-dua orang di antara petugas itu mulai kehilangan kesabarannya. Gerombolan jubah merah itu pun seakan tidak peduli. Mereka masih saja memukul-mukul kubah kaca sambil berteriak-teriak. Entah kenapa mereka menjadi sangat murka melihat pertunjukan itu. Satu-dua penonton pun mulai bertanya-tanya, apakah yang dikatakan si jubah merah itu benar adanya. Tapi mereka hanya diam. Mungkin mereka sadar dengan statusnya yang hanya penonton. Penonton hanya boleh mengapresiasikan sebuah karya dengan tepuk tangan jika merasa terhibur, atau langsung pergi meninggalkan pertunjukan tanpa komentar. Mereka semua tahu dengan aturan itu. Itulah sebabnya mengapa para penonton memilih diam dan tidak ikut campur dengan protes yang dilakukan oleh para jubah merah itu.
Mendadak keramaian itu dikejutkan oleh suara letusan senjata. Entah dari mana asal-muasal bunyi tembakan itu. Namun, tak lama setelah bunyi letusan, salah satu dari rombongan berjubah merah itu roboh ke pangkuan penonton yang kebetulan duduk di dekatnya. Keheningan melanda arena pertunjukan. Suara-suara protes lenyap dalam sekejap. Tidak ada yang bergerak. Angin dingin yang berembus seperti membekukan setiap benda yang ada di tempat itu. Daun-daun mati yang ditiup angin seperti menggantung di udara. Tidak bergerak. Para pemain yang berada dalam kubah pun diam dan menghentikan akting mereka. Semua mata hanya memandang tubuh yang terbujur kaku dan berdarah. Si jubah merah mati. Tidak bernapas lagi. Tidak berteriak lagi. Ia hanya berbaring, diam, dan matanya menatap langit-langit.
Beberapa penonton mulai mengambil keputusan untuk meninggalkan arena pertunjukan sebelum lakon yang sedang dipentaskan selesai. Kala itu langit malam tampak cemerlang tanpa balutan awan putih yang biasanya berarak perlahan.
the crew: dicky (kameramen)
the crew: sugeng (transportasi)
the crew: deden (sutradara)
the crew: nardi (kameramen)
a midsummer's night dream hehehe
Hujan diiringi gemuruh petir mulai menyelimuti hutan Puti. Segenap debu, humus, tanah, dan tahi binatang perlahan terbawa ribuan tetes air hujan yang menjelma menjadi aliran air. Lekuk-lekuk tanah menuntunnya ke dasar lembah, seperti nadi yang mulai terisi darah. Aliran itu terus bergerak dan meluncur mencari tempat kosong. Di atas ubun-ubun deru petir tak henti-henti mengiba langit agar jangan berhenti menangisi puluhan bahkan ratusan tubuh yang terserak di tanah basah dan di antara semak. Sebagian di antara tubuh-tubuh itu menangisi kerabat dan saudara dekatnya yang membujur di sisinya. Sebagian lagi menangisi kerabat dan saudara jauhnya yang membuat mereka tertelungkup dan terkapar. Mati.
“Bergegaslah, cepat! Jangan kau tengok lagi mainan usang kekasihmu itu! Bawa yang kau butuh saja. Cepat, Bian bilang, mereka sudah tiba di kaki bukit.”
Kotak kayu berukir itu tidak berbeda jauh ketika pada kali pertama Dipo memberikannya padaku. Mungkin warnanya yang sedikit kusam. Tapi itu bukan berarti aku tidak merawatnya. Mungkin karena terlalu banyak kugosok dan kubersihkan, lapisan catnya mulai memudar. Seperti saat ini, kala aku merindukannya. Entah sudah berapa lama kotak berukir itu kugosok dengan secarik perca. Kutimang-timang benda itu. Dalam hati aku tersenyum saat menyadari bahwa sampai hari ini aku belum pernah tahu untuk apa kotak berukir itu.
Ripin bilang kotak itu adalah tempat menyimpan tembakau. Saat itu aku langsung merebut kembali kotak itu dari tangannya ketika ia memasukkan tembakau miliknya ke dalam kotak itu. Kotak itu langsung kucuci dan kurendam dalam wangi-wangian semalaman karena bau tembakau.
Kotak itu menebar aroma wewangian ketika kudekatkan ke hidungku. Aku kembali tersenyum mengingat kejadian itu. Namun, tetap saja aku masih belum mengerti kenapa Dipo memberikan kotak itu padaku. Seorang sahabat karibku, Suti, mengatakan kotak itu adalah tempat cincin kawin yang isinya akan segera menyusul. Ah, Suti memang paling tahu bagaimana caranya membuatku tersipu. Sungguh aku merasa sangat malu saat ia mengatakan hal itu. Apalagi di hadapan teman-temanku yang lain. Tapi, diam-diam kuamini juga perkataannya. Aku berharap tak lama lagi isinya menyusul bersama dengan kedatangannya. Namun, hingga kini, hingga tiba saatnya Suti melahirkan anaknya yang kedua, Dipo tak kunjung datang.
“Hei, belum beranjak juga kau! Sudah bosan rupanya kepalamu bersatu dengan tubuh itu, ya?” Emak hendak merampas kotak berukir itu ketika ia melihatku masih terkenang-kenang. Kuangkat kantong pakaianku dan langsung meninggalkan kamar.
Kakiku sedang menuju ke pintu belakang ketika kakak perempuanku memanggilku untuk membawa serta kantong pakaian keponakanku yang masih bayi. Ia menyodorkan kantong itu dengan satu tangan sementara tangannya yang lain menggendong si buyung yang terus-terusan tertawa riang sambil menendang-nendangkan kakinya. Mungkin ia merasa senang karena diajak bepergian sesore ini.
Orang tuanya, kakak perempuanku bersama suaminya, memang jarang membawa serta si buyung ke mana pun mereka pergi. Anak itu selalu ditinggal sendiri bersama mainan-mainan kayunya yang sudah terkelupas di sana-sini. Biasanya aku yang selalu membawanya berjalan keliling kampung. Ia selalu senang jika diajak menghirup udara bebas. Mungkin darah pemburu yang dimiliki ayahnya telah menurun padanya. Ia selalu senang melihat ternak penduduk yang berkeliaran di halaman rumah. Tak pernah ia terlihat takut atau bahkan menangis jika didekatkan pada binatang-binatang itu. Sebaliknya, ia tampak selalu ingin menyentuh mereka dengan tangannya.
Kalau saja Dipo melihat hal itu—entah apa yang dipikirkannya selama ini. Ke mana saja ia pergi. Kadang tidak enak juga terlalu sering membawa anak orang keliling kampung. Orang-orang kampung mulai membicarakan diriku sebagai gadis yang ditinggal perjakanya. Sudah menjadi semacam aturan umum tak tertulis yang menyatakan bahwa hanya gadis yang tidak baik lakunya yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Dan dari cara mereka melihat dan menjaga jarak dariku sudah tampak bahwa akulah “gadis yang tak baik lakunya” itu. Tapi, tidak ada yang dapat mengusik kepercayaanku pada Dipo. Ia pasti kembali.
Aku tiba di ambang pintu belakang. Beberapa pemuda berpakaian gelap berlarian ke arah sungai. Secarik kain merah kumal diikatkan di kepala mereka. Tiap-tiap pemuda itu menggenggam pedang, parang, dan celurit. Salah satu dari mereka menengok padaku. Ia adalah pemuda yang sehari-harinya kukenal sebagai Ripin seorang pengukir dan pemanjat pohon paling andal di kampung. Ia juga kenal padaku. Kami adalah karib sejak kecil. Namun, sore itu ada yang sesuatu yang lain dari dirinya yang belum pernah kukenal. Sorot matanya, gerak-geriknya, dia bukan Ripin yang kukenal. Dia benar-benar tampak seperti Ripin yang marah. Marah pula bingung.
Gubuknya di puncak bukit dirampok dan dibakar saat ia turun ke kampung membantu kami membangun kandang. Beberapa orang kampung mengatakan ia hampir gila ketika di antara puing-puing gubuknya sosok mayat tanpa kepala dan perut robek telah hangus terbakar. Tak jauh dari situ, sesosok mayat lagi, namun lebih kecil juga telah hangus. Itu bayi pertama Ripin yang baru tujuh bulan dikandung istrinya. Saat itu, Ripin langsung membungkus kedua mayat itu dan menguburnya di kuburan kampung. Tak sepatah kata pun pernah keluar dari mulutnya sejak hari itu. Dan, tak seorang pun pernah berbicara dengannya. Namun, dalam kemarahan dan kebingungan, ia tidak sendiri. Ada Itam, Ngijan, Pisi, dan masih ada yang lain yang juga bernasib sama dengannya. Mereka juga ditinggal mati keluarganya.
Sudah lelah rasanya kakiku dibawa berlari. Jalan setapak yang mulai mengecil mengisyaratkan bahwa aku telah memasuki kawasan tengah hutan. Kantong pakaian yang kubawa sudah koyak boyak dicabik ranting pohon mati di sepanjang jalan. Hutan jadi tempat yang paling tenang dan damai hari ini. Matahari tak dapat mengintipku di dalam hutan. Tak ada celah yang dapat dilaluinya. Daun-daun terlalu rapat menaungi tanah, walaupun setiap hari daun-daun kering gugur dimakan musim.
Di beberapa tempat, badan ranting dan dahan sudah memulai babak kehidupan baru. Sementara, di mukaku puluhan orang masih mengayunkan parang dan pedangnya dalam kesunyian. Tidak ada suara, hanya langit yang terus-menerus menangis. Di sisiku, di antara orang kampung yang kukenal, kekasihku terbaring. Tubuhnya basah, berdarah, dan tersenyum. Dia mati setelah mengatakan bahwa cintanya terlalu banyak untuk disimpan dalam kotak kayu itu. Di tangannya sebuah kotak kayu yang kelihatannya masih kosong ditempeli butir-butir air hujan.
trrrrrrt
Pernah sekali waktu, ada yang bilang dia bukan Ayahku. Tapi apa bedanya. Setelah lima belas tahun berlalu, ia masih setia menyayangiku. Dia masih mengasihiku, walau tidak dengan kata-kata, tidak dengan belaian, tidak dengan hadiah-hadiah, tidak dengan apa pun. Hanya perasaanku saja yang mengatakan demikian.
Banyak orang bilang, kalau Ayahlah yang menyebabkan Ibuku meninggal. Pak Rimo juga bilang begitu. Tapi Oma tidak berkata apa-apa ketika kutanyakan kepadanya. Tante Rita cuma menangis sambil memelukku. Tak ada yang bisa menjawab. Tapi Ayah menjawab, “Ya,” sambil berlutut di samping tempat tidurku.
***
Rumahku jauh dari kota. Kau harus berjalan kaki kira-kira satu jam apabila hendak membeli sesuatu di kota. Kendaraan boleh dibilang tidak ada. Hanya Pak Madi dan Ko Bhun Tong yang punya mobil di kampung kami. Sisanya, naik sepeda atau berjalan kaki.
Tapi rasa-rasanya memang lebih enak berjalan kaki. Aku bisa menyusuri garis pantai di sebelah kiri jalan yang menuju ke kota perlahan-lahan. Ada debur ombak, gemuruh angin, dan suara gesekan daun, yang melatari perjalananku. Di sisi lain jalan, padang rumput sempit dibelah sungai kecil yang hampir tiba di akhir perjalanannya.
Dulu ayah sering mengajakku bermain di tepi sungai itu. Ia memancing dan aku bermain perahu-perahuan dari kertas. Lama biasanya kami di tempat itu. Ayah baru mengajak aku pulang ketika matahari hampir terbenam. Kala itu biasanya keranjangnya sudah penuh dengan ikan segar. Ayah memang tahu betul di mana tempat yang baik untuk memancing. Ia tahu benar di mana ikan-ikan yang besar sembunyi. Ia sepertinya kenal benar dengan sifat dan kebiasaan ikan-ikan itu. Ia tahu mana jenis ikan yang pemalu, dan ikan mana yang sama sekali tak gentar dengan kail di balik umpan.
Setelah selesai memancing, biasanya kami tidak langsung pulang. Ayah selalu membawaku berjalan ke sebuah tempat yang katanya adalah tempat istirahat Ibu setelah mampir dulu di pasar untuk menjual ikan-ikannya.
Tempat istirahat Ibu tidak jauh dari pasar. Jaraknya kira-kira sama seperti jarak antara rumah kami dengan rumah Pak Rimo. Sekitar tiga kilometer. Tetapi perjalanan itu tidak pernah terasa jauh sebab Ayah selalu bercerita tentang apa saja mengenai tempat-tempat yang kami lewati. Selalu ada saja yang baru yang bisa ia ceritakan kepadaku tentang tempat itu. Seperti batu-batu gunung berukuran raksasa yang tergeletak di tengah padang itu. Ayah mengatakan tempat itu dulunya adalah tempat bermain yang paling menyenangkan pada saat ia masih seusiaku. Saban hari, ia dan teman-temannya selalu bermain di situ. Apa saja. Orekan[i], main layangan, atau sekadar menghindar dari rumah. Ayah bilang, dulu ia adalah anak yang sangat nakal. Ia tidak pernah mau membantu Oma di rumah. Menurutnya, hanya anak perempuanlah yang seharusnya tinggal di rumah.
Aku masih ingat satu kali waktu Ayah pernah mengatakan hal tersebut kepada Oma. “Menjemur kelapa, membersihkan sayur, menyapu, itu semua bukan pekerjaan yang pantas untuk anak laki-laki. Toh, ada Rita di rumah. Kenapa bukan dia saja yang disuruh,” kata Ayah.
“Bukan begitu, Rob...,” ucapan Oma terpotong. “Kan itu bagus buat dia yang nantinya akan jadi ibu buat anak-anaknya.”
Ayah juga mengatakan kalau Oma memang terlalu memanjakan Tante Rita. Oma selalu bilang kalau Tante Rita lahir dengan pembawaan tubuh yang lemah. Ia sering sakit-sakitan dan tidak kuat jika dipaksa bekerja terlalu keras. Tetapi menurut ayah, itu hanya alasan yang dibuat-buat. Ia sering melihat Tante Rita diam-diam menyelinap ke luar rumah dan bermain bersama anak-anak perempuan lainnya.
“Ayahmu memang keras kepala, Tini,” kata Oma suatu waktu padaku.
“Dia itu tidak pernah percaya sama orang lain. Tidak ada orang yang benar, cuma dia sendiri yang paling benar. Dari kecil dia sudah begitu. Ia juga sering menuduh adiknya yang perempuan itu, pergi main sampai malam di belakang Oma. Padahal Rita pergi ke rumah Bu Supri karena Oma yang suruh. Rita memang lemah, tapi belajar menjahit toh tidak akan terlalu melelahkan buat dia. Tapi percuma saja Oma bilang begitu, Ayahmu pasti tidak percaya. Memang luar biasa sifat keras kepalanya itu.”
“Apalagi waktu dia menamatkan sekolahnya di kota. Keras kepalanya itu makin menjadi-jadi. Dia jadi merasa lebih tahu dan lebih pintar dari siapa saja. Dulu sering sekali dia pulang ke rumah dengan badan bengkak-bengkak dan bibir berdarah karena berkelahi dengan orang-orang di pasar. Dia bilang kalau ikan-ikan hasil tangkapan dia itu ditaksir terlalu murah. Padahal seharusnya dia sadar, tidak ada orang yang mampu membeli ikan-ikan hasil tangkapan penduduk sini selain tengkulak-tengkulak itu. Makanya, seringkali dia terpaksa harus membawa pulang lagi ikan-ikan hasil tangkapannya itu karena tidak laku dijual.”
Namun, sifat keras kepala Ayah lambat laun mulai hilang. Lebih-lebih ketika Ibu pergi. Sejak saat itu, ia jadi lebih sering diam dan tidak pernah membantah. Hidupnya kini hanya berputar-putar antara rumah, sungai, pasar, dan tempat istirahat Ibu.
“Ibumu itu orang yang sangat mudah untuk dicintai,” kata Ayah, suatu saat sebelum aku tidur.
“Dia tidak pernah menuntut yang macam-macam. Buat dia, dunia ini terlalu sempurna kalau cuma dilihat dari keindahannya. Dan sangat memuakkan, jika terus-terusan dilihat dari kekurangannya. Ini yang dia terapkan pada Ayah dan setiap orang yang dikenalnya.”
“Dia juga tidak pernah mengeluh. Dia bilang, semua hal akan terasa lebih buruk jika dilihat dari hati yang tertutup keluh kesah. Ketidakpuasan tidak pernah berakhir melalui keluhan. Kesulitan sudah lama lewat ketika orang bodoh masih terus-terusan menangisi keadaannya.”
“Ayah tidak pernah bermaksud membunuh Ibumu. Tak sedikit pun niat itu melintas di benak Ayah. Ibumu sangat lemah dan Ayah tahu dia pasti sangat menderita. Tapi dia tak pernah menunjukkannya pada siapa pun. Juga pada ayah. Tapi Ayah tahu Ibumu sakit dan menderita. Perutnya terlalu besar untuk ukuran wanita yang sedang mengandung enam bulan. Separuh kandungannya berisi tumor yang merebut makanan calon adikmu.”
Jarang sekali aku melihat Ayah seperti ini. Ia benar-benar seperti seorang ayah. Cara berbicaranya, raut mukanya, ia kelihatan lebih tua. Ia tidak lagi kelihatan seperti teman bermain bagiku. Ia tidak pernah bercerita tentang Ibu seperti itu sebelumnya. Bagaimana mereka bertemu, masa-masa pacaran mereka, pernikahan mereka, kelahiranku, sampai ketika maut menjemputnya. Itu adalah topik yang sama sekali tak pernah diangkat di setiap pembicaraan kami. Dan aku tidak pernah menuntut. Pernah sekali waktu Ayah mengatakan ada saatnya ketika aku harus mengetahui semuanya. Dan aku juga tidak pernah bertanya, kapan.
Tempat istirahat Ibu adalah sepetak tanah kecil di tepi bukit yang berbatasan langsung dengan laut. Tempat itu kelihatannya mirip sekali dengan lukisan, apalagi pada saat-saat seperti ini, ketika langit cerah telanjang tanpa awan yang menutupi bintang-bintang. Laut tanpa ujung seperti cermin raksasa dengan karang-karang runcing di bibir bukit yang siap mencabik dan memboyakkan segala sesuatu yang jatuh di atasnya. Aku dan Ayah selalu duduk di dalam dangau beratap rumbia tanpa kata-kata. Hanya angin, daun, dan gemuruh gumpalan ombak yang berbisik mengalahkan jerit jangkrik di antara bangkai kayu mati.
“Hari itu, di sini, Ibumu pernah bilang kalau dia mau melakukan apa saja supaya bisa terus mencintai Ayah dan kau. Setelah itu, dia melemparkan dirinya ke atas karang. Saat itu, Ayah tak sedikit pun berusaha untuk mencegahnya melakukan hal itu. Dia berhak melakukannya, seperti juga Ayah yang nantinya juga berhak untuk disalahkan.”
Langit masih cerah telanjang tanpa awan yang menutupi bintang-bintang. Jerit jangkrik bersama gemuruh ombak mulai terdengar sayup-sayup ketika aku dan Ayahku beranjak dari tempat itu.
[i] Orekan: permainan kejar-kejaran yang dimainkan anak-anak di Palembang.
Banyak orang bilang, kalau Ayahlah yang menyebabkan Ibuku meninggal. Pak Rimo juga bilang begitu. Tapi Oma tidak berkata apa-apa ketika kutanyakan kepadanya. Tante Rita cuma menangis sambil memelukku. Tak ada yang bisa menjawab. Tapi Ayah menjawab, “Ya,” sambil berlutut di samping tempat tidurku.
***
Rumahku jauh dari kota. Kau harus berjalan kaki kira-kira satu jam apabila hendak membeli sesuatu di kota. Kendaraan boleh dibilang tidak ada. Hanya Pak Madi dan Ko Bhun Tong yang punya mobil di kampung kami. Sisanya, naik sepeda atau berjalan kaki.
Tapi rasa-rasanya memang lebih enak berjalan kaki. Aku bisa menyusuri garis pantai di sebelah kiri jalan yang menuju ke kota perlahan-lahan. Ada debur ombak, gemuruh angin, dan suara gesekan daun, yang melatari perjalananku. Di sisi lain jalan, padang rumput sempit dibelah sungai kecil yang hampir tiba di akhir perjalanannya.
Dulu ayah sering mengajakku bermain di tepi sungai itu. Ia memancing dan aku bermain perahu-perahuan dari kertas. Lama biasanya kami di tempat itu. Ayah baru mengajak aku pulang ketika matahari hampir terbenam. Kala itu biasanya keranjangnya sudah penuh dengan ikan segar. Ayah memang tahu betul di mana tempat yang baik untuk memancing. Ia tahu benar di mana ikan-ikan yang besar sembunyi. Ia sepertinya kenal benar dengan sifat dan kebiasaan ikan-ikan itu. Ia tahu mana jenis ikan yang pemalu, dan ikan mana yang sama sekali tak gentar dengan kail di balik umpan.
Setelah selesai memancing, biasanya kami tidak langsung pulang. Ayah selalu membawaku berjalan ke sebuah tempat yang katanya adalah tempat istirahat Ibu setelah mampir dulu di pasar untuk menjual ikan-ikannya.
Tempat istirahat Ibu tidak jauh dari pasar. Jaraknya kira-kira sama seperti jarak antara rumah kami dengan rumah Pak Rimo. Sekitar tiga kilometer. Tetapi perjalanan itu tidak pernah terasa jauh sebab Ayah selalu bercerita tentang apa saja mengenai tempat-tempat yang kami lewati. Selalu ada saja yang baru yang bisa ia ceritakan kepadaku tentang tempat itu. Seperti batu-batu gunung berukuran raksasa yang tergeletak di tengah padang itu. Ayah mengatakan tempat itu dulunya adalah tempat bermain yang paling menyenangkan pada saat ia masih seusiaku. Saban hari, ia dan teman-temannya selalu bermain di situ. Apa saja. Orekan[i], main layangan, atau sekadar menghindar dari rumah. Ayah bilang, dulu ia adalah anak yang sangat nakal. Ia tidak pernah mau membantu Oma di rumah. Menurutnya, hanya anak perempuanlah yang seharusnya tinggal di rumah.
Aku masih ingat satu kali waktu Ayah pernah mengatakan hal tersebut kepada Oma. “Menjemur kelapa, membersihkan sayur, menyapu, itu semua bukan pekerjaan yang pantas untuk anak laki-laki. Toh, ada Rita di rumah. Kenapa bukan dia saja yang disuruh,” kata Ayah.
“Bukan begitu, Rob...,” ucapan Oma terpotong. “Kan itu bagus buat dia yang nantinya akan jadi ibu buat anak-anaknya.”
Ayah juga mengatakan kalau Oma memang terlalu memanjakan Tante Rita. Oma selalu bilang kalau Tante Rita lahir dengan pembawaan tubuh yang lemah. Ia sering sakit-sakitan dan tidak kuat jika dipaksa bekerja terlalu keras. Tetapi menurut ayah, itu hanya alasan yang dibuat-buat. Ia sering melihat Tante Rita diam-diam menyelinap ke luar rumah dan bermain bersama anak-anak perempuan lainnya.
“Ayahmu memang keras kepala, Tini,” kata Oma suatu waktu padaku.
“Dia itu tidak pernah percaya sama orang lain. Tidak ada orang yang benar, cuma dia sendiri yang paling benar. Dari kecil dia sudah begitu. Ia juga sering menuduh adiknya yang perempuan itu, pergi main sampai malam di belakang Oma. Padahal Rita pergi ke rumah Bu Supri karena Oma yang suruh. Rita memang lemah, tapi belajar menjahit toh tidak akan terlalu melelahkan buat dia. Tapi percuma saja Oma bilang begitu, Ayahmu pasti tidak percaya. Memang luar biasa sifat keras kepalanya itu.”
“Apalagi waktu dia menamatkan sekolahnya di kota. Keras kepalanya itu makin menjadi-jadi. Dia jadi merasa lebih tahu dan lebih pintar dari siapa saja. Dulu sering sekali dia pulang ke rumah dengan badan bengkak-bengkak dan bibir berdarah karena berkelahi dengan orang-orang di pasar. Dia bilang kalau ikan-ikan hasil tangkapan dia itu ditaksir terlalu murah. Padahal seharusnya dia sadar, tidak ada orang yang mampu membeli ikan-ikan hasil tangkapan penduduk sini selain tengkulak-tengkulak itu. Makanya, seringkali dia terpaksa harus membawa pulang lagi ikan-ikan hasil tangkapannya itu karena tidak laku dijual.”
Namun, sifat keras kepala Ayah lambat laun mulai hilang. Lebih-lebih ketika Ibu pergi. Sejak saat itu, ia jadi lebih sering diam dan tidak pernah membantah. Hidupnya kini hanya berputar-putar antara rumah, sungai, pasar, dan tempat istirahat Ibu.
“Ibumu itu orang yang sangat mudah untuk dicintai,” kata Ayah, suatu saat sebelum aku tidur.
“Dia tidak pernah menuntut yang macam-macam. Buat dia, dunia ini terlalu sempurna kalau cuma dilihat dari keindahannya. Dan sangat memuakkan, jika terus-terusan dilihat dari kekurangannya. Ini yang dia terapkan pada Ayah dan setiap orang yang dikenalnya.”
“Dia juga tidak pernah mengeluh. Dia bilang, semua hal akan terasa lebih buruk jika dilihat dari hati yang tertutup keluh kesah. Ketidakpuasan tidak pernah berakhir melalui keluhan. Kesulitan sudah lama lewat ketika orang bodoh masih terus-terusan menangisi keadaannya.”
“Ayah tidak pernah bermaksud membunuh Ibumu. Tak sedikit pun niat itu melintas di benak Ayah. Ibumu sangat lemah dan Ayah tahu dia pasti sangat menderita. Tapi dia tak pernah menunjukkannya pada siapa pun. Juga pada ayah. Tapi Ayah tahu Ibumu sakit dan menderita. Perutnya terlalu besar untuk ukuran wanita yang sedang mengandung enam bulan. Separuh kandungannya berisi tumor yang merebut makanan calon adikmu.”
Jarang sekali aku melihat Ayah seperti ini. Ia benar-benar seperti seorang ayah. Cara berbicaranya, raut mukanya, ia kelihatan lebih tua. Ia tidak lagi kelihatan seperti teman bermain bagiku. Ia tidak pernah bercerita tentang Ibu seperti itu sebelumnya. Bagaimana mereka bertemu, masa-masa pacaran mereka, pernikahan mereka, kelahiranku, sampai ketika maut menjemputnya. Itu adalah topik yang sama sekali tak pernah diangkat di setiap pembicaraan kami. Dan aku tidak pernah menuntut. Pernah sekali waktu Ayah mengatakan ada saatnya ketika aku harus mengetahui semuanya. Dan aku juga tidak pernah bertanya, kapan.
Tempat istirahat Ibu adalah sepetak tanah kecil di tepi bukit yang berbatasan langsung dengan laut. Tempat itu kelihatannya mirip sekali dengan lukisan, apalagi pada saat-saat seperti ini, ketika langit cerah telanjang tanpa awan yang menutupi bintang-bintang. Laut tanpa ujung seperti cermin raksasa dengan karang-karang runcing di bibir bukit yang siap mencabik dan memboyakkan segala sesuatu yang jatuh di atasnya. Aku dan Ayah selalu duduk di dalam dangau beratap rumbia tanpa kata-kata. Hanya angin, daun, dan gemuruh gumpalan ombak yang berbisik mengalahkan jerit jangkrik di antara bangkai kayu mati.
“Hari itu, di sini, Ibumu pernah bilang kalau dia mau melakukan apa saja supaya bisa terus mencintai Ayah dan kau. Setelah itu, dia melemparkan dirinya ke atas karang. Saat itu, Ayah tak sedikit pun berusaha untuk mencegahnya melakukan hal itu. Dia berhak melakukannya, seperti juga Ayah yang nantinya juga berhak untuk disalahkan.”
Langit masih cerah telanjang tanpa awan yang menutupi bintang-bintang. Jerit jangkrik bersama gemuruh ombak mulai terdengar sayup-sayup ketika aku dan Ayahku beranjak dari tempat itu.
[i] Orekan: permainan kejar-kejaran yang dimainkan anak-anak di Palembang.
vivid
Pigura berbingkai emas memagari potret sosok perawan tanggung di sisi dinding terakota. Persis di bawahnya, tungku pemanas dengan api merah kecil-kecil menyemburatkan warna merah keemasan menyaput separuh wajah lelaki berbalut keriput. Wajah lelaki itu timbul tenggelam seiring lambaian lidah api. Matanya menatap lurus kertas yang telah selesai ditulisinya. Sepucuk surat yang telah bertuliskan lengkap nama kelima anaknya.
Di depan laki-laki tadi, sang istri membungkus dirinya rapat-rapat dengan selimut. Tubuhnya tak lagi menginginkan laki-laki tua itu, namun sesungguhnya hati, pikiran, dan perasaannya diam-diam masih mencintainya. Tak terkatakan. Besok pagi mereka akan bercerai. Sebuah perceraian tubuh, tapi siapakah yang dapat menceraikan hati.
Si laki-laki tua itu menghendaki perawan muda yang ditemuinya saban sore di taman kota. Hasrat dan gairah telah membuatnya menjatuhkan pilihan kepada perempuan itu. Perempuan belia yang bisa menemaninya menghabiskan pagi di beranda, meratap senja di taman kota, dan akhirnya menanti fajar lewat lompatan-lompatan waktu yang bergairah di atas ranjang. Satu lompatan yang artinya menjadi lima tahun lebih muda bagi setiap laki-laki mana pun di muka bumi ini.
Istri laki-laki tua itu menangisi perkawinan penuh bunga di gereja puluhan tahun silam. Dia masih ingat wajah saudara-saudara perempuannya yang menangis kala itu. Dia juga ingat benar pantulan dirinya di muka cermin setengah jam sebelum ia dan laki-laki itu mengucapkan janji di hadapan Tuhan. ”Sampai maut memisahkan kita....”
Ia teringat wajah cantik miliknya yang berhias kemolekan tubuh seorang perawan. Kulit yang putih, halus, kencang, dan bersinar. Dada yang penuh, pinggul yang padat, dan kaki yang jenjang yang mampu menopang tubuhnya anggun. Semua keindahan itu mampu menarik semua mata lelaki yang ditemuinya.
Ia teringat lukisan kegembiraan di wajah ibunya saat ia akhirnya memutuskan akan menikah dengan laki-laki itu.
Ibu perempuan itu meninggal bersama senyumnya. Ia melihat cucu keduanya lahir dua jam sebelum maut mengajaknya pergi. Ia mati dengan keyakinan anaknya akan aman bersama laki-laki itu. Laki-laki yang ia jodohkan dengan anak perawannya.
Sungguh, perjodohan tidak jadi masalah besar bagi perempuan itu. Dua bulan sebelum pernikahan hingga tiga puluh tahun menjalaninya, perjodohan itu tidak pernah menjadi masalah baginya. Ia tidak pernah merasa takluk dengan keinginan ibunya. Ia juga tidak pernah merasa teriming-imingi kekayaan laki-laki itu. Ia hanya ingin mencoba mencintainya. Tak lebih.
***
Di ruang terakota, persis di depan tungku, laki-laki itu beranjak dari sofa. Ia menatap istrinya sebentar. Wajah itu kelihatan samar-samar. Kabur. Tidak nyata. Hanya gurat-gurat tanpa warna. Seperti kanvas yang belum pernah dijamah. Tapi mungkin juga tidak. Wajah itu tak pernah kelihatan samar. Wajah itu tampak jelas, sejelas-jelasnya. Lebih jelas dari apa pun. Mata laki-laki itu saja yang rabun. Ia tak dapat lagi melihat jelas. Tapi mungkin juga tidak. Matanya mungkin baik-baik saja. Tidak perlulah kita menjatuhkan kutuk pada matanya. Ia hanya tidak dapat melihat dengan jelas. Itu saja.
Ia melangkah dan menatap istrinya sekali lagi untuk sekadar memastikan. Memastikan bahwa ia masih menginginkan perawan di taman itu.
***
Perempuan itu cantik. Jelita namanya. Ia masih muda. Tidak lebih dari dua puluh lima usianya. Sekuntum bunga yang sedang merekah. Perempuan baik-baik. Belum tahu banyak tentang cinta. Tidak tampak ada laki-laki yang sedang bersamanya. Sendiri di taman kota.
Sepintas ia tidak kelihatan berbeda dengan puluhan bahkan ratusan perawan lain yang ada di kota. Tak tampak ada guratan derita di wajahnya. Ayahnya pergi entah ke mana sejak ia masih di kandungan ibunya. Sang ibu berhenti melacur ketika akhirnya di sebuah bar ia menemukan pria yang jatuh hati padanya. Seorang pria baik-baik.
Mereka menikah, dan tak lama setelah itu pria baik tadi pergi bersama penyakit yang dideritanya. Tapi ia tak pergi begitu saja. Ia meninggalkan lebih dari cukup harta untuk pelacur itu. Dengan warisan berlimpah, pelacur itu membesarkan anak gadisnya.
Perawan muda itu duduk diam di bangku taman. Ia menanti laki-laki tua itu. Ia tahu besok laki-laki tua itu akan menikahinya. Sebuah perjanjian segitiga antara dirinya, Tuhan, dan si laki-laki tua. Ia tidak terlalu mengerti dengan tetek bengek perjanjian itu. Ia juga tidak sepenuhnya peduli. Ia tahu si pangeran sudah beranak lima. Ia juga kenal dengan permaisuri sang pangeran. Tapi ia juga tidak peduli. Toh laki-laki itu telah memberikan nafkah yang cukup untuk anak-anaknya lewat sebuah surat wasiat. Laki-laki itu juga telah berjanji akan memberikan seluruh cinta pada dirinya. Dan gadis itu telah membuktikan ketulusan cintanya. Tidak hanya sekali dua kali.
Sampai saat ini laki-laki itu tidak pernah mengerti mengapa, kenapa, dan bagaimana, perawan itu jatuh hati padanya. Perawan belia, terpaut puluhan tahun, takluk di hadapannya. Namun hebatnya lagi, kata laki-laki itu, ia tak pernah mengerti mengapa ia kemudian memilih untuk melanjutkan sisa hidupnya bersama perawan itu. Ia tahu cinta. Dia pernah merasakannya dulu. Tapi, yang ia rasakan ketika bersama perawan itu sungguh berbeda. Tak sama dan benar-benar lain.
Seorang karib telah mengatakan padanya, “Itu bukan cinta. Cinta tidak seperti itu. Cinta tidak datang lagi saat ini. Yang kau rasakan hanya nafsu. Dan nafsu tidak datang bersama cinta.“
Laki-laki itu mengelak sambil tertawa. “Kau belum kenal dia, sahabat. Jelita itu benar-benar pantas untuk dicintai. Tak ada hal yang lebih berharga ketika kau sedang bersamanya.”
***
Perawan itu belum puas mengagumi kecantikan dan kemolekan tubuhnya di muka cermin. Gaun putih membelai lantai, altar putih berhias bunga-bunga, tawa campur tangis di sudut-sudut gereja, langit-langit berukir yang berakhir di ambang pintu....
Ia meninggalkan gereja bersama laki-laki tua itu. Tidak tampak di matanya sosok ibu yang sedang berdoa untuknya.
Di tempat itu juga, di balik daun-daun muda yang baru dipetik, perempuan tua itu masih meratapi debu yang menggantung di udara. Entah kenapa bumi tidak lekas menarik kembali butir-butir debu yang membalut dirinya. Hatinya sunyi. Ia meratap, menangis tanpa air mata. Namun senyum membalut wajahnya yang keriput.
Menjelang fajar. Pagi-pagi sekali, masih di atas ranjang, laki-laki itu mati.
***
Pigura berbingkai emas memagari potret sosok perawan tanggung di sisi dinding terakota. Persis di bawahnya, tungku pemanas dengan api merah kecil-kecil menyemburatkan warna merah keemasan menyaput separuh wajah lelaki berbalut keriput. Wajah lelaki itu timbul tenggelam seiring lambaian lidah api. Matanya menatap lurus kertas yang telah selesai ditulisinya. Sepucuk surat yang telah bertuliskan lengkap nama kelima anaknya.
Laki-laki itu beranjak dari sofa. Ia menatap istrinya sebentar. Ia tahu anak-anaknya akan membencinya. Ia sadar sepenuhnya.
Ia melangkahkan kakinya ke kamar utama. Di ambang pintu ia melihat seisi kamar yang selama ini ia bagi bersama istrinya. Ranjang besar di tengah ruangan, jendela ramping dengan tirai putih melambai, dan sepotong meja di sudut kamar pemberian ibu mertuanya.
Laki-laki itu menoleh ke ruang terakota. Perempuan itu tidak bergerak. Hanya bayangannya yang menari-nari di dinding.
Perempuan itu terlelap.
jual cepat volvo 960!!!
Subscribe to:
Posts (Atom)