Aji gundah gulana. Dua pesan pendeknya hari ini tak berbalas. Sudah dua kali pula dia menelepon. Hasilnya nihil. Aji makin resah, semuanya usahanya sia-sia. Tapi, satu pesan pendek lagi ia layangkan. “Hai, masih sakit?”
Aji girang bukan kepalang, hari ini dia tiba di
Cangkir kopi hangat tiba di meja. Aji meneliti setiap orang dan setiap kendaraan yang melintas di depan mal. Mobil hitam mengilat datang, Aji menahan napas. Seorang ibu menggandeng putrinya turun. Aji menghela napas, jarinya menggandeng kuping cangkir. Pandangannya beredar dalam mal. Sepasang muda-mudi memasuki kedai dan duduk tak jauh darinya. Dua orang pramuniaga menawarkan leaflet di gerbang mal, seorang gadis cantik melalui mereka. Aji terkesiap. Sekejap ia mengangkat ponsel, tapi batal menekan tombolnya. Sang gadis akan menghubunginya sesampai di mal. Ponsel itu kembali terbaring di atas meja. Dengan sabar Aji menanti hingga gadis cantik tadi akhirnya menghilang di puncak eskalator.
Di pasir pantai, “Sori, Ji. Ponselku jatuh ke dalam bathtub kemarin.” Aji tak lagi hirau dengan bule setengah telanjang yang berjemur di sampingnya. “Oke, good luck ya. Lain kali hati-hati.” Aji beranjak dari kursi malasnya, berhambur ke tengah lautan bersama sekelompok pemuda, menentang ombak.
“Aku tidak bisa hari ini, tidak akan sempat.” Aji melihat pesan pendek itu, lalu pandangannya jatuh pada setumpuk hadiah, oleh-oleh, sedianya untuk sang gadis. Ponselnya berdering pendek, “Ji, sori ya, mungkin lain kali.” Aji membalas,”Enggak apa-apa kok, aku cuma pengen tahu kamu sudah baikan atau belum.”
Di luar mal angin bertambah kencang dan pohon palem menunduk-nunduk ketakutan. Hari semakin muram, deras hujan menciptakan danau-danau kecil di depan mal. Cangkir kopi kedua sudah tiba di meja. Asbak baru sudah diletakkan. Aji meraih ponselnya pada dering pertama. “Sori, hujan deras, agak telat. Sori bgt ya.”
***
Gadis itu tertawa. Matanya setengah tertutup. Kulitnya putih. Rambutnya sebahu. Sepasang kakinya dirapatkan. Tubuhnya berguncang sementara sebelah tangannya menutupi mulutnya. Benar, gadis itu cantik. Di telinga si gadis Aji berbisik. Gadis itu menatapnya sebentar, tersenyum sambil mengangguk pendek, lalu menarik tangannya. Bersama mereka meninggalkan kedai. Di luar mal hari semakin muram, sepasang suami istri merapatkan tubuh mereka, menembus hujan.