Hei, Sexy!
Baru-baru ini saya lihat di Wikipedia, Slank sudah merilis 16 album plus 1 album soundtrack Get Married termasuk lagu Pandangan Pertama yang sumpah, menarik, begitu pun filmnya.
16 album tetap saja adalah jumlah yang memukau buat band yang cikal-bakalnya sudah ada nyaris seperempat abad silam dengan nama Cikini Stones Complex. Saya tidak pernah tahu ada berapa banyak album yang pernah direkam Dewa, grup band yang saya anggap seangkatan dengan Slank. Mungkin tidak sebanyak Slank. Tapi untuk urusan “cinta”, Slank jelas kalah produktif. Hingga saat ini saya percaya Dewa adalah satu-satunya band yang paling banyak mengobral kata cinta sebagai judul album.
Tapi saya juga pasti bukan Slankers sejati. Dari 16 album itu tak sampai separuh yang saya dengar apalagi saya koleksi. Album terakhir yang saya beli, masih berbentuk kaset saat itu, adalah album ketujuh, Tujuh. Jujur saja, saya termasuk fans Slank yang tidak terlalu gembira dengan kepergian Indra, Pay, dan Bongky. Mungkin saya adalah fans Slank jadul yang hanya senang bernostalgia dengan lagu lama. Atau mungkin saya hanya fans yang tidak bisa menerima kenyataan: “Slank itu Bimbim dan Kaka...plus, plus, plus”.
Dan Slank benar-benar bisa jalan terus sepuluh tahun setelah album ketujuh, Tujuh, yang dirilis 1997. Liriknya masih lugas, ceritanya masih lancar, “puitis dengan loe-gue”, dan kalau pun “enggak rock n’ roll, blues OK, ya know what I mean”.
Ini album wajib pertama produksi dalam negeri yang harus dimiliki oleh sebagian besar remaja semasa saya sekolah. Kampungan adalah kumpulan lagu-lagu liar di satu sisi, dan lagu romantis yang liriknya selalu menjadi sajak abadi buat mengenang gebetan pertama (iya... judulnya mesti Terlalu Manis).
Kampungan juga adalah lagu pertama di side A yang mengingatkan saya dengan gebukan drum Steven Adler buat Mr. Brownstone. Jadi klop. Tidak ada yang asing buat saya ketika mendengar album ini.
Sudah seharusnya kita bertepuk tangan buat vokal Kaka yang diabadikan di album ini. Hingga sekarang saya yakin belum ada penyanyi band lain yang memiliki kualitas vokal dan performance sematang Kaka. Bila Anda tidak percaya, simak range vokal Kaka pada lagu Pulau Biru di album ini.
I Love My Job
I love my job, I love the pay!
I love it more and more each day.
I love my boss, she is the best!
I love her boss and all the rest.
I love my office and its location,
I hate to have to go on vacation.
I love my furniture, drab and gray,
And piles of paper that grow each day!
I think my job is really swell,
There's nothing else I love so well.
I love to work among my peers,
I love their leers, and jeers, and sneers.
I love my computer and its software;
I hug it often though it won't care.
I love each program and every file.
I'd love them more if they worked a while.
I'm happy to be here. I am. I am.
I'm the happiest slave of the Firm, I am.
I love this work, I love these chores.
I love the meetings with deadly bores.
I love my job - I'll say it again -
I even love those friendly men.
Those friendly men who've come today,
In clean white coats to take me away!
(The Lost Dr Seuss Poem)
huehuehuheuhue...
Adalah pengalaman menyenangkan kembali ke Palembang. Alasan utama tentu nostalgia sedangkan sisanya adalah bertemu teman lama di restoran martabak HAR. Sementara teman-teman sekantor saya harus menerima pasrah soal minimnya objek wisata Kota Palembang, buat saya ada banyak tempat spesial yang bisa saya kunjungi di kota tua itu.
Saya lahir dan besar di kota itu. Saya baru meninggalkan Palembang saat SMA. Masa SMA yang penuh kenangan kata orang, tapi saya tidak merasa demikian. Teman-teman SMP yang membentuk saya, begitu pun kota itu. Meski umpatan kaget saya saat ini berlogat Sunda, tapi saya keukeuh mengaku sebagai orang Palembang. Sayangnya, seperti empat tahun lalu–saat saya kembali lagi ke kota ini–tidak satu pun pengemudi yang menjemput saya di bandara menyadari sepenuhnya hal tersebut. Dan terus terang biasanya saya menikmati betul percakapan pada 30 menit pertama itu. Dari bandara sampai hotel si pengemudi malang itu akan berusaha keras berbicara dalam bahasa Indonesia dialek Betawi.
Palembang sudah banyak berubah. Lapangan futsal ada di mana-mana. Jalan di dekat rumah saya dulu sudah diperlebar, dibubuhi trotoar, dan diperlebar lagi. Empat hotel berbintang berdiri jangkung di setiap sudut kota. Sementara empat bintang di Hotel Sandjaja, hotel terbesar yang saya kenal, kini tidak seterang dulu lagi.
Ada dua mal baru rupanya. Yang satu berdiri di atas puing-puing taman ria kota. Yang satunya lagi menggantikan pabrik pemintalan. Ada lagi lapangan bola besar dibangun di Jaka Baring, areal luas yang dulunya masih berujud rawa. Di situ Jepang dan Korea Selatan bertanding merebut posisi ketiga ajang Piala Asia, Juli silam. Sebuah hajatan internasional yang hanya bisa disuguhkan di Palembang dan Jakarta, bukan di Medan dan Surabaya. Di tengah jalan menuju bandara sebuah jembatan layang tergesa-gesa dibangun. Ah Palembang sudah tidak selengang dulu lagi.